Proses pendidikan doktoral yang sesungguhnya adalah perjalanan panjang yang melibatkan penelitian mendalam, kontribusi orisinal terhadap bidang ilmu tertentu, dan pengakuan akademik.Â
Namun, apa yang terjadi belakangan ini adalah distorsi makna dari proses tersebut.Â
Banyak pejabat, seperti yang baru-baru ini diberitakan, mendapatkan gelar dengan orasi ilmiah yang minim kontribusi akademik nyata, tetapi justru menjadi sarana pemulus karier.
Fenomena ini sejalan dengan kritik sosial yang tergambar dalam kartun: serangga-serangga tersebut tidak "mengonsumsi" buku untuk mempelajari isinya, melainkan menghancurkannya untuk meraih topi wisuda.Â
Seakan-akan, bagi beberapa pejabat di Indonesia, proses meraih gelar akademik tidak lebih dari sarana formalitas untuk memperkuat citra di mata publik.
Implikasi bagi Dunia Pendidikan
Jika tradisi ini terus berlanjut, dampaknya terhadap pendidikan tinggi akan sangat signifikan.Â
Universitas bisa terjebak dalam dinamika di mana gelar diberikan lebih karena pertimbangan politik dan hubungan kekuasaan, bukan berdasarkan kualitas akademik dan riset.
Ini tentu mengkhawatirkan, mengingat kampus seharusnya menjadi benteng integritas dan kebebasan akademik.
Dalam konteks tersebut, kartun yang menggambarkan buku yang dilahap hingga rusak adalah representasi tepat dari apa yang terjadi:Â ilmu dihancurkan dan dikompromikan demi gelar dan formalitas.Â
Bukannya memajukan pengetahuan dan berkontribusi bagi masyarakat, proses ini justru menghancurkan esensi pendidikan itu sendiri.
***