Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah mengalami perkembangan kapitalisme yang pesat, yang telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari ekonomi hingga budaya. Liberalisasi ekonomi yang dimulai sejak era reformasi telah membuka jalan bagi investasi asing, privatisasi sumber daya alam, serta pertumbuhan pasar bebas.Â
Pada satu sisi, hal ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memberikan akses kepada berbagai produk dan layanan yang sebelumnya tidak tersedia.Â
Namun, pada sisi lain, ekspansi kapitalisme ini juga membawa masalah ketidaksetaraan, eksploitasi sumber daya alam, dan marginalisasi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.
Salah satu manifestasi yang nyata dari kapitalisme di Indonesia adalah privatisasi aset-aset publik dan sumber daya alam. Dalam beberapa kasus, hak masyarakat adat atau lokal atas tanah dan sumber daya telah tergeser oleh kepentingan korporasi besar, baik nasional maupun internasional. Contoh konkritnya adalah konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah, di mana masyarakat kecil sering kali kalah dalam sengketa tanah melawan perusahaan-perusahaan besar yang memiliki modal dan akses hukum yang kuat.
Selain itu, fenomena komodifikasi terhadap layanan-layanan publik seperti kesehatan dan pendidikan semakin terlihat. Apa yang sebelumnya dipandang sebagai hak dasar, kini menjadi komoditas yang hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki sumber daya ekonomi. Kondisi ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara kelompok masyarakat kaya dan miskin, serta mempersempit ruang bagi kesetaraan sosial.
Di sisi lain, gaya hidup konsumtif yang didorong oleh kapitalisme global turut mengubah budaya lokal. Budaya konsumsi, terutama di kalangan kelas menengah, semakin merajalela, dengan kebutuhan akan barang-barang impor dan gaya hidup modern yang dijual melalui media dan iklan.Â
Hal ini pada akhirnya menggeser nilai-nilai tradisional dan solidaritas sosial yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat Indonesia.
Namun, di tengah pesatnya perkembangan kapitalisme ini, muncul pertanyaan tentang masa depan ideologi dan nilai-nilai yang mendasari masyarakat Indonesia. Mampukah Pancasila, sebagai fondasi negara yang menekankan pada keadilan sosial dan kesejahteraan bersama, bertahan di bawah tekanan kapitalisme global?
***
Kapitalisme, dengan segala janji kemakmuran yang dibawanya, selalu menyimpan kontradiksi yang tak terhindarkan. Dalam konteks Indonesia, skeptisisme terhadap model kapitalis yang semakin mengakar ini bukanlah tanpa alasan.Â
Di balik narasi pertumbuhan ekonomi, kita sering melihat masalah ketidaksetaraan, eksploitasi, dan disintegrasi sosial yang diakibatkan oleh pola pembangunan yang hanya berpihak pada pemilik modal.Â
Ketika hak-hak rakyat terpinggirkan oleh kepentingan ekonomi segelintir elit, kita melihat jelas benturan antara prinsip-prinsip kapitalisme dengan nilai-nilai dasar Pancasila yang menekankan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai seorang pengamat sosial dan politik, saya skeptis terhadap gagasan bahwa kapitalisme yang semakin mengglobal ini dapat berjalan seiring dengan cita-cita masyarakat adil dan makmur yang diidamkan dalam Pancasila.Â
Kapitalisme dalam bentuknya yang murni mendorong persaingan bebas, privatisasi aset publik, dan akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang.Â
Sementara itu, Pancasila, terutama sila kelima, menuntut adanya keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat, dengan mengedepankan kesejahteraan bersama di atas kepentingan individu atau kelompok.Â
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan penting: bagaimana Pancasila dapat bertahan dan diimplementasikan secara efektif di tengah penetrasi kapitalisme yang kian menguat?
Pancasila bukan hanya sekadar ideologi formal yang tertulis di konstitusi; ia merupakan pedoman hidup yang seharusnya mengakar dalam tindakan nyata masyarakat Indonesia.Â
Di sinilah kita perlu mengajukan kritik yang tajam terhadap kapitalisme dan menawarkan alternatif yang lebih sesuai dengan semangat kebangsaan kita. Salah satu langkah pertama yang dapat diambil oleh masyarakat Indonesia adalah memperkuat kontrol terhadap aset-aset strategis bangsa.
 Kita harus memastikan bahwa sektor-sektor penting seperti energi, sumber daya alam, kesehatan, dan pendidikan tetap berada di bawah kendali negara atau dikelola dengan mekanisme yang berpihak pada kepentingan rakyat.
 Langkah ini bertujuan untuk menghindari eksploitasi berlebihan oleh korporasi, baik lokal maupun asing, yang hanya mencari keuntungan tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan.
Selain itu, masyarakat harus lebih sadar dan kritis terhadap fenomena konsumerisme yang sering kali menjadi bagian integral dari kapitalisme modern. Budaya konsumsi yang berlebihan dan tidak terkendali bukan hanya menggerogoti nilai-nilai lokal dan solidaritas sosial, tetapi juga menciptakan kesenjangan yang lebih dalam antara kelompok yang mampu dan yang tidak.Â
Dengan kembali mengedepankan semangat gotong royong, kita dapat menumbuhkan solidaritas dan kesadaran kolektif untuk melawan dominasi pasar yang merusak tatanan sosial kita.
Peran negara dalam menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial juga tidak bisa diabaikan. Pemerintah harus lebih tegas dalam menegakkan regulasi yang membatasi ekses-ekses kapitalisme yang merugikan rakyat.Â
Reformasi agraria, misalnya, harus benar-benar dijalankan untuk memastikan bahwa rakyat memiliki akses yang adil terhadap sumber daya tanah, bukan hanya segelintir perusahaan besar. Pada saat yang sama, pajak progresif yang lebih adil perlu diterapkan untuk mengurangi kesenjangan pendapatan yang semakin tajam.
Namun, langkah-langkah ini tidak akan berhasil tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat. Di sini, peran masyarakat sipil, akademisi, serta tokoh-tokoh agama dan budaya sangat penting dalam membangun kesadaran politik dan sosial yang lebih kuat.Â
Melalui pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai kebangsaan, serta kampanye-kampanye sosial yang menekankan pentingnya kesejahteraan bersama, kita bisa membangun masyarakat yang lebih kritis terhadap penetrasi kapitalisme yang berlebihan dan kembali ke prinsip-prinsip keadilan sosial yang diamanatkan oleh Pancasila.
***
Sebagai bangsa yang memiliki warisan budaya dan nilai-nilai kebersamaan yang kuat, Indonesia seharusnya mampu menawarkan model pembangunan yang berbeda dari kapitalisme yang eksploitatif.Â
Model ini adalah model yang menempatkan kepentingan rakyat di atas keuntungan semata, yang menghormati keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial.Â
Dengan demikian, kita bisa berharap bahwa masa depan Indonesia tidak akan terjebak dalam perangkap kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi menjadi negara yang benar-benar adil dan makmur sesuai dengan semangat Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H