Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Subsidi Energi di Indonesia, Belajar dari Kebijakan BBM di Negara Maju

14 September 2024   05:47 Diperbarui: 24 September 2024   07:20 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harga bahan bakar minyak (BBM) yang tinggi, sebagaimana tercermin dalam infografis 10 negara dengan harga BBM termahal di dunia pada September 2024, tidak hanya menjadi perbincangan di kalangan ekonom, tetapi juga memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat. 

Negara-negara seperti Hong Kong, Monako, dan Islandia menduduki puncak daftar, dengan harga BBM melambung hingga Rp50.804/liter untuk RON 95 di Hong Kong. 

Tingginya harga BBM di negara-negara ini bukan tanpa sebab, melainkan hasil dari kombinasi faktor lingkungan, kebijakan ekonomi, dan ketergantungan pada impor energi.

Infografis harga BBM di beberapa negara. (Sumber: iNews.id)
Infografis harga BBM di beberapa negara. (Sumber: iNews.id)

Dalam konteks ekonomi makro, harga BBM yang tinggi dapat memicu inflasi, terutama di sektor transportasi dan logistik. Berdasarkan data dari International Monetary Fund (IMF), kenaikan harga energi dapat menyebabkan inflasi sebesar 0,2 hingga 0,5 persen di beberapa negara maju, tergantung pada seberapa besar ketergantungan ekonomi negara tersebut pada bahan bakar fosil. 

Ketika di Hong Kong, Monako, dan Islandia, biaya transportasi yang tinggi telah menjadi faktor utama yang meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. 

Menurut laporan Bank Dunia (2023), negara-negara kecil dengan harga BBM tinggi cenderung mengalami kenaikan inflasi yang lebih signifikan, terutama dalam sektor pangan dan transportasi.

Kebijakan fiskal juga berperan besar dalam menentukan harga BBM di negara-negara ini. Sebagai contoh, Monako dan Swiss secara konsisten menerapkan pajak karbon yang tinggi untuk mendorong penggunaan energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada BBM fosil. 

Joseph Stiglitz, seorang ekonom peraih Nobel, pernah menyebut bahwa negara-negara maju harus menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan, dan salah satu cara terbaik untuk melakukan itu adalah melalui harga energi yang tinggi. 

Dengan demikian, harga BBM yang mahal di negara-negara ini sering kali merupakan langkah kebijakan yang disengaja untuk mendorong inovasi hijau dan transisi ke energi bersih.

Sementara itu, Islandia menghadapi tantangan tersendiri. Meski negara ini memiliki sumber daya energi panas bumi yang melimpah, ketergantungan pada impor bahan bakar fosil untuk transportasi membuat harga BBM mereka tetap tinggi. 

Menurut fakta dari International Energy Agency (IEA), sekitar 70% dari energi Islandia di sektor transportasi masih berasal dari bahan bakar fosil. Ini menunjukkan bahwa meskipun negara memiliki akses ke sumber energi terbarukan untuk pembangkit listrik, tantangan logistik tetap menjadi kendala besar.

Tingginya harga BBM di negara-negara ini memicu transisi energi yang lebih cepat. Pemerintah mendorong masyarakat untuk beralih ke kendaraan listrik (EV) atau energi terbarukan lainnya. 

Menurut laporan McKinsey & Company (2024), pasar EV di Hong Kong tumbuh 20% per tahun sejak 2020, sebagian besar didorong oleh harga BBM yang sangat mahal.

Dampak Lingkungan dan Solusi Transisi Energi di Negara-Negara dengan Harga BBM Tinggi

Selain dampak ekonomi, tingginya harga BBM di negara-negara seperti Hong Kong, Monako, dan Islandia juga memiliki konsekuensi signifikan terhadap kebijakan lingkungan hidup. 

Kenaikan harga BBM sering kali dianggap sebagai salah satu cara paling efektif untuk menekan emisi karbon dan mengurangi jejak ekologi negara-negara yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil. 

Joseph E. Aldy, seorang ekonom lingkungan dari Harvard University, dalam studinya pada tahun 2022, menjelaskan bahwa kenaikan harga BBM sebesar 10% dapat menurunkan konsumsi bahan bakar sebesar 2-4% di negara-negara maju. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, yang menjadi pendorong utama perubahan iklim global.

Di negara-negara seperti Swiss dan Belanda, pajak karbon telah menjadi bagian integral dari kebijakan publik. Menurut data dari European Environment Agency (EEA) pada 2023, Belanda berhasil mengurangi emisi CO sebesar 9,5% dalam 5 tahun terakhir, sebagian besar berkat penerapan pajak BBM yang tinggi. 

Hal ini mendorong peningkatan investasi dalam energi terbarukan dan infrastruktur kendaraan listrik, yang diperkirakan dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil hingga 50% pada 2030.

Namun, Liechtenstein dan Monako menghadapi tantangan berbeda. Meskipun harga BBM mereka termasuk yang tertinggi di dunia, keterbatasan ruang dan infrastruktur membuat transisi ke energi terbarukan lebih sulit. 

Anders Hove, seorang analis energi dari Oxford Institute for Energy Studies, menyatakan bahwa negara-negara kecil ini sering kali bergantung pada energi impor dari negara tetangga dan memiliki tantangan besar dalam membangun infrastruktur energi terbarukan. 

Sebagai contoh, Monako telah mulai berinvestasi dalam solar panel dan proyek energi angin di lautan, tetapi hal ini masih dalam tahap awal.

Hong Kong juga menghadapi tantangan yang unik. Sebagai salah satu pusat ekonomi dunia yang padat penduduk, kebijakan transportasi berkelanjutan menjadi sangat penting. 

Data dari Hong Kong Transport Department (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 90% perjalanan harian di kota tersebut menggunakan transportasi umum. Meskipun demikian, harga BBM yang tinggi tetap memainkan peran penting dalam mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan mempromosikan kendaraan listrik. 

Ricky Wong, seorang analis pasar di HSBC, memperkirakan bahwa penggunaan kendaraan listrik di Hong Kong akan meningkat hingga 35% dalam lima tahun ke depan, didorong oleh kebijakan pemerintah yang memberikan insentif untuk membeli EV dan biaya BBM yang tinggi.

Dari sisi lingkungan, transisi ini diharapkan dapat berdampak positif. Menurut laporan dari International Renewable Energy Agency (IRENA), setiap pengurangan 1 juta liter konsumsi BBM dapat mengurangi emisi CO sebanyak 2.4 juta ton. 

Negara-negara seperti Islandia yang bergantung pada impor BBM, langkah-langkah pengurangan ini tidak hanya mengurangi dampak lingkungan tetapi juga membantu menjaga ketahanan energi. 

Thorstein Sigurdsson, seorang ahli energi dari Universitas Reykjavik, menyebut bahwa diversifikasi sumber energi sangat penting untuk negara kecil yang memiliki keterbatasan sumber daya alam.

Harga BBM yang tinggi di negara-negara ini lebih dari sekadar refleksi kebijakan ekonomi; mereka menjadi katalisator untuk perubahan menuju energi berkelanjutan. 

Meskipun tantangan masih ada, terutama dalam hal infrastruktur dan ketergantungan impor, investasi yang dilakukan dalam teknologi bersih dan transisi energi menawarkan solusi jangka panjang yang tidak hanya mengurangi dampak lingkungan, tetapi juga membangun ketahanan energi di masa depan.

Tantangan dan Peluang Indonesia dalam Mengelola Harga BBM dan Transisi Energi

Jika kita melihat konteks harga BBM di negara-negara maju seperti yang dibahas sebelumnya, Indonesia menghadapi tantangan yang berbeda namun tidak kalah signifikan. 

Meskipun harga BBM di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara dalam infografis, masalah subsidi, ketergantungan pada impor bahan bakar, dan transisi energi menjadi isu utama dalam diskusi kebijakan energi nasional. 

Pada 2024, harga BBM di Indonesia masih terpengaruh oleh fluktuasi pasar global, dan subsidi energi tetap menjadi salah satu pengeluaran besar dalam anggaran negara.

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), subsidi BBM di Indonesia pada tahun 2023 mencapai Rp130 triliun, naik dari Rp102 triliun pada tahun sebelumnya. 

Subsidi ini, meskipun memberikan stabilitas harga bagi masyarakat, menimbulkan beban yang besar bagi anggaran negara. Ekonom Faisal Basri dalam beberapa kesempatan mengkritik bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, sementara dampaknya terhadap masyarakat bawah justru minim. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022 menunjukkan bahwa 55% subsidi energi di Indonesia dinikmati oleh 30% rumah tangga terkaya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas subsidi BBM sebagai kebijakan yang adil.

Indonesia masih menghadapi masalah ketergantungan pada impor minyak. Menurut Laporan BP Energy Outlook 2024, 70% kebutuhan minyak Indonesia dipenuhi melalui impor, yang berarti negara ini sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak dunia. 

Ini juga menambah beban pada neraca perdagangan dan cadangan devisa. Pada 2023, defisit neraca migas Indonesia mencapai USD 15 miliar, menurut laporan Bank Indonesia. Ini menunjukkan betapa pentingnya diversifikasi energi dan mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil.

Di tengah tantangan ini, ada peluang besar bagi Indonesia untuk memanfaatkan momentum transisi energi global. Pemerintah Indonesia melalui RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) berkomitmen untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 23% pada tahun 2025. 

Beberapa langkah sudah diambil, seperti pembangunan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) skala besar di berbagai wilayah dan pengembangan biofuel. 

Menurut Data IRENA, Indonesia memiliki potensi 10 kali lipat kapasitas energi surya yang saat ini dimanfaatkan, terutama di wilayah-wilayah seperti Kalimantan dan Sulawesi.

Dalam konteks ini, transisi ke energi terbarukan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada BBM dan mengurangi beban subsidi. Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, pernah menyatakan bahwa investasi asing di sektor energi terbarukan di Indonesia meningkat 30% pada 2023. 

Selain itu, pemerintah juga telah memberikan insentif untuk pengembangan kendaraan listrik, dengan target 2 juta kendaraan listrik beroperasi di jalanan pada 2030. Ini adalah langkah penting dalam mengurangi konsumsi BBM, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.

Tantangan terbesar masih pada pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan infrastruktur energi terbarukan yang efisien dan berkelanjutan. 

Beberapa daerah, seperti di Papua dan Maluku, infrastruktur energi masih sangat terbatas, dan transisi ke energi terbarukan membutuhkan investasi besar. 

Bambang Brodjonegoro, mantan Menteri Keuangan, menggarisbawahi bahwa pendanaan inovatif, seperti obligasi hijau (green bonds) dan kemitraan publik-swasta, akan sangat penting untuk mempercepat transisi ini.

***

Indonesia perlu mengambil pelajaran dari negara-negara dengan harga BBM tinggi, seperti Hong Kong dan Islandia, yang telah menggunakan kebijakan energi yang bijak untuk mendorong inovasi teknologi dan mengurangi ketergantungan pada BBM fosil. 

Di Indonesia, langkah menuju energi bersih akan tidak hanya mengurangi dampak lingkungan tetapi juga mengurangi beban ekonomi jangka panjang, terutama terkait dengan subsidi BBM dan impor energi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun