Siklus Pembiayaan Perusahaan: Mengapa Utang Meningkat Saat Valuasi Diprediksi Tinggi?
Salah satu fenomena yang sering diamati dalam dunia keuangan perusahaan adalah keputusan untuk mengambil utang yang tinggi ketika mereka mengantisipasi peningkatan valuasi. Teori siklus pembiayaan menjelaskan bahwa keputusan ini didorong oleh ekspektasi terhadap likuiditas industri di masa depan. Pasar memungkinkan perusahaan memanfaatkan utang untuk meningkatkan kapasitas operasional ketika likuiditas diharapkan meningkat. Namun, keputusan ini sering berujung pada kinerja buruk perusahaan di masa depan.
Salah satu aspek penting dalam teori ini adalah hak kendali kreditur atas arus kas atau aset yang dapat dijaminkan. Ketika likuiditas di masa depan diprediksi tinggi, perusahaan merasa lebih aman untuk mengambil utang lebih besar. Namun, likuiditas tinggi yang diantisipasi dapat menyebabkan perusahaan kurang fokus pada peningkatan aset yang dapat dijaminkan, sehingga mengurangi insentif mereka untuk mengelola risiko dengan baik.
Fenomena ini tercermin dalam kasus nyata. Pada 2022, Meta Platforms mengambil utang sebesar $10 miliar dalam debut obligasi korporatnya untuk membiayai ekspansi serta pembelian kembali sahamnya. Namun, valuasi saham Meta mengalami penurunan hingga 40% akibat ketidakmampuan perusahaan untuk memenuhi ekspektasi pasar terkait kinerjanya. Kasus ini memperlihatkan bagaimana ekspektasi likuiditas masa depan sering kali memicu pengambilan utang besar, tetapi gagal memberikan hasil yang diharapkan.
Selain itu, sebuah studi oleh Harvard Business Review menunjukkan bahwa lebih dari 65% perusahaan yang beroperasi di sektor likuiditas tinggi seperti teknologi dan energi cenderung mengambil utang lebih besar ketika likuiditas pasar diprediksi meningkat. Namun, hanya 35% dari perusahaan tersebut yang berhasil meningkatkan kinerjanya dalam jangka panjang, yang mengindikasikan ketidakseimbangan antara ekspektasi dan realitas dalam dunia keuangan perusahaan.
Keputusan untuk mengambil utang yang tinggi juga sering dipengaruhi oleh tekanan dari pemegang saham. John C. Williams mengungkapkan bahwa perusahaan sering merasa "terjebak" dalam ekspektasi pertumbuhan dari pemegang saham, yang memaksa mereka mengambil risiko lebih besar dengan utang tinggi, seperti yang terlihat pada banyak perusahaan teknologi besar lainnya.
Dampak Jangka Panjang Utang Tinggi pada Kinerja Perusahaan
Ketika perusahaan memilih utang yang tinggi berdasarkan proyeksi likuiditas masa depan, efek buruk jangka panjang sering kali tak terhindarkan. Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian pertama, antisipasi terhadap tingginya likuiditas menyebabkan perusahaan kurang berfokus pada pengelolaan aset yang dapat dijaminkan. Akibatnya, ketika realitas pasar tidak sesuai dengan proyeksi, utang yang diambil menjadi beban yang signifikan dan membatasi fleksibilitas keuangan perusahaan.
Pada kasus Meta, meskipun mereka mengambil utang untuk tujuan ekspansi dan pembelian kembali saham, kejatuhan valuasi menyebabkan penurunan kepercayaan investor. Dalam kondisi ini, perusahaan menjadi lebih rentan terhadap perubahan pasar yang tiba-tiba, terutama ketika likuiditas yang diharapkan tidak tercapai. Hal ini diperkuat oleh data dari McKinsey & Company (2022) yang menunjukkan bahwa lebih dari 70% perusahaan yang mengambil utang besar selama periode likuiditas tinggi mengalami penurunan margin keuntungan sebesar 15-20% dalam waktu lima tahun.
Selain itu, tekanan dari kreditur semakin memperburuk situasi perusahaan. Dalam kondisi penurunan likuiditas, hak kendali kreditur atas arus kas dan aset perusahaan menjadi lebih kuat, membatasi kebebasan manajemen perusahaan untuk melakukan inovasi atau ekspansi lebih lanjut. Kondisi ini sering menyebabkan "kemerosotan keuangan" yang berkepanjangan, di mana perusahaan sulit keluar dari siklus utang tinggi dan penurunan kinerja. Studi dari Standard & Poor's (2021) menemukan bahwa hampir 60% perusahaan yang mengambil utang lebih dari 50% dari aset bersihnya cenderung mengalami kebangkrutan atau restrukturisasi dalam dekade berikutnya.
Pandangan ini diperkuat oleh ekonom Nouriel Roubini, yang dalam sebuah wawancara di Bloomberg (2023) menekankan bahwa "utang yang tinggi selama periode ekspektasi likuiditas sering kali menjadi bumerang ketika proyeksi pasar tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini menurunkan daya saing perusahaan di pasar global." Roubini juga menambahkan bahwa utang yang berlebihan akan memperburuk kondisi perusahaan saat menghadapi guncangan ekonomi global seperti inflasi atau resesi.
Penting bagi perusahaan untuk mempertimbangkan kembali strategi utang mereka, terutama ketika keputusan tersebut didasarkan pada proyeksi likuiditas masa depan yang tidak pasti. Fleksibilitas keuangan dan kemampuan untuk mempertahankan kinerja jangka panjang harus menjadi prioritas utama. Mengambil utang besar tanpa memperhitungkan risiko jangka panjang hanya akan memperburuk kondisi keuangan perusahaan, seperti yang terlihat dari kasus Meta dan banyak perusahaan besar lainnya.
***
Dalam siklus pembiayaan, keputusan perusahaan untuk mengambil utang tinggi berdasarkan ekspektasi likuiditas masa depan sering kali menjadi strategi yang riskan. Meskipun dapat memberikan keuntungan jangka pendek, risiko likuiditas yang tidak terwujud serta tekanan dari kreditur dapat memicu penurunan kinerja perusahaan. Untuk menghindari dampak negatif ini, perusahaan harus lebih berhati-hati dalam merencanakan strategi pembiayaan mereka, memastikan bahwa fleksibilitas dan daya tahan jangka panjang selalu diperhitungkan.
Referensi
Diamond, D. W., Hu, Y., & Rajan, R. G. (2019). Pledgeability, Industry Liquidity, and Financing Cycles. Dalam The Journal of Finance (Vol. 75, Issue 1, hlm. 419--461). Wiley. https://doi.org/10.1111/jofi.12831
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H