Seiring dengan pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), konten yang dihasilkan oleh teknologi ini, seperti gambar, video, dan teks sintetis, semakin mendominasi ruang publik digital.
Sarah A. Fisher dalam artikelnya berjudul "Something AI should tell you: The case for labelling synthetic content," yang diterbitkan pada tahun 2024 di Journal of Applied Philosophy menyoroti pentingnya pelabelan konten sintetis sebagai langkah awal untuk melindungi wacana publik dari potensi manipulasi.Â
Di satu sisi, kemajuan teknologi seperti deepfake dan chatbot membuka peluang besar untuk inovasi; di sisi lain, mereka menimbulkan risiko serius terhadap integritas informasi yang kita konsumsi sehari-hari.Â
Fisher mencatat bahwa perusahaan teknologi besar seperti Meta, Microsoft, dan OpenAI sudah mulai menerapkan sistem watermark pada konten yang dihasilkan AI.Â
Presiden Joe Biden bahkan mengeluarkan perintah eksekutif pada tahun 2023 untuk mendukung langkah ini.
Namun, perdebatan mengenai pelabelan konten sintetis bukan hanya soal teknologi tetapi juga menyentuh masalah epistemik dan ekspresif.Â
Di satu sisi, ada kekhawatiran bahwa konten yang dihasilkan AI lebih sering tidak akurat dan menyesatkan.Â
Misalnya, algoritma generatif cenderung memprediksi informasi berdasarkan pola probabilistik, yang bisa menciptakan konten palsu tetapi terlihat meyakinkan.Â
Menurut Fisher, tantangan ini membuat pelabelan menjadi langkah penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap informasi di internet.Â
Di sinilah filosofi dan etika kecerdasan buatan memainkan peran penting, memastikan bahwa kita tidak hanya mengagumi teknologi tetapi juga memahami dampaknya terhadap masyarakat dan individu.