Tinjauan Kredit Macet Gen Z dan Milenial dalam P2P Lending
Industri peer-to-peer (P2P) lending menghadapi tantangan signifikan terkait tingkat kredit macet yang tinggi, khususnya dari kalangan generasi Z dan Milenial.Â
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa 37,17% dari kredit macet pada platform P2P lending di Indonesia berasal dari kedua kelompok usia ini.Â
Data tersebut menyoroti bagaimana generasi yang lebih muda, berusia antara 19 hingga 34 tahun, sering kali terlibat dalam pinjaman online yang berakhir dengan wanprestasi.
Dalam respons terhadap peningkatan risiko ini, OJK telah mengambil langkah-langkah untuk memitigasi dampaknya, termasuk pengaturan regulasi yang lebih ketat dan penerapan tindakan pencegahan.Â
Misalnya, penyelenggara P2P lending diminta untuk memasang peringatan risiko yang jelas di halaman utama website dan aplikasi mereka, mengingatkan calon peminjam tentang risiko kerugian finansial dan pentingnya mempertimbangkan kemampuan pembayaran sebelum berutang.
Lebih lanjut, Agusman dari OJK menekankan pentingnya pemahaman yang lebih baik dan persiapan risiko oleh konsumen.Â
Peringatan yang disampaikan bertujuan untuk membuat calon peminjam, khususnya dari generasi Z dan Milenial, lebih sadar dan bertanggung jawab dalam mengambil keputusan finansial mereka.Â
Pendekatan ini diharapkan dapat membantu menurunkan tingkat kredit macet di masa mendatang.
Sementara itu, pertumbuhan sektor fintech, terutama di P2P lending, terus menunjukkan dinamika yang positif, dengan pertumbuhan outstanding pembiayaan sebesar 23,97% year-on-year pada Juli 2024, mencapai Rp69,39 triliun.Â
Ini menunjukkan bahwa meskipun ada tantangan, sektor P2P lending masih menawarkan potensi pertumbuhan yang signifikan, asalkan risiko dapat dikelola dengan efektif.
Strategi Menangani Kredit Macet di Kalangan Muda
Kesadaran akan risiko dan edukasi keuangan menjadi kunci dalam mengurangi tingkat kredit macet di kalangan generasi Z dan Milenial.Â
Peningkatan kredit macet yang signifikan di antara kelompok usia muda ini menuntut strategi yang lebih inklusif dan informatif dari regulator dan penyelenggara fintech.
OJK telah mengambil langkah strategis dengan mengimplementasikan regulasi yang mendukung transparansi dan keadilan dalam layanan P2P lending, seperti yang tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2022 dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/SEOJK.06/2023.Â
Regulasi ini meliputi prosedur penilaian kelayakan yang lebih ketat dan batas maksimal manfaat ekonomi yang bisa dikenakan kepada peminjam untuk menghindari overcharge yang bisa memperburuk kondisi keuangan peminjam.
Lebih jauh, OJK berharap bahwa dengan adanya tindakan preventif berupa peringatan risiko di platform-platform pinjaman, konsumen akan menjadi lebih waspada dan mempertimbangkan pinjaman mereka dengan lebih hati-hati.Â
Ini adalah langkah penting dalam membangun ekosistem keuangan yang sehat dan berkelanjutan, di mana konsumen tidak hanya dijaga dari risiko tetapi juga diberdayakan melalui pengetahuan keuangan yang memadai.
Adapun peran dari lembaga keuangan dan fintech dalam mengedukasi konsumen tidak bisa dianggap remeh.Â
Program literasi keuangan yang menyasar kaum muda, terutama generasi Z dan Milenial yang merupakan pengguna aktif teknologi, harus ditingkatkan.Â
Pembelajaran tentang manajemen keuangan dan risiko pinjaman bisa dilakukan melalui kampanye digital, webinar, dan kolaborasi dengan institusi pendidikan untuk mencapai efektivitas maksimal.
Di sisi lain, peningkatan kualitas layanan dengan mengadopsi teknologi AI untuk analisis risiko dan perilaku pinjaman bisa menjadi salah satu solusi inovatif.Â
Dengan teknologi ini, fintech dapat lebih akurat dalam menilai profil risiko calon peminjam dan secara otomatis menyaring aplikasi yang berpotensi berisiko tinggi sebelum menyetujui pinjaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H