Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Gajah dan Ilusi

6 September 2024   22:37 Diperbarui: 6 September 2024   22:47 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Realitas dalam Perspektif Filsafat

Gambar empat gajah dalam bentuk ilusi (baca keterangan di akhir artikel ini), mengajak kita merenungkan tentang persepsi, kenyataan, dan ilusi, tema-tema sentral dalam filsafat. 

Dalam konteks ini, gajah bukan sekadar hewan besar, tetapi simbol dari bagaimana manusia memahami realitas---terkadang terbatas, terdistorsi, atau dipengaruhi oleh faktor eksternal. 

Filsafat telah lama mempelajari hubungan antara realitas dan persepsi, yang kerap berujung pada kesimpulan bahwa apa yang kita lihat mungkin tak selalu mencerminkan kenyataan yang sejati.

Teori paling klasik yang dapat dikaitkan dengan ini adalah Teori Ilusi dari Plato. 

Dalam mitos Allegory of the Cave, Plato membandingkan manusia dengan orang-orang yang terikat di dalam gua, hanya bisa melihat bayangan dari benda-benda yang diproyeksikan oleh api. 

Bayangan itu diambil sebagai kebenaran oleh mereka, padahal itu hanyalah representasi yang salah dari realitas. 

Gajah yang digambarkan secara minimalis dan berbentuk ilusi ini menjadi seperti bayangan di dalam gua Plato. 

Kita melihat bentuk, tetapi itu bukan realitas penuh dari gajah. 

Gambar ini hanya sekilas dari esensi sebenarnya, mengajak kita untuk mempertanyakan apakah yang kita lihat adalah realitas atau hanya proyeksi dari pemahaman kita yang terbatas.

Pendekatan Plato ini diikuti oleh para filsuf lain seperti Immanuel Kant, yang dalam bukunya Critique of Pure Reason menegaskan bahwa pengalaman manusia tentang dunia tidak hanya tergantung pada objek eksternal tetapi juga bagaimana pikiran manusia memproses informasi tersebut. 

Menurut Kant, ada dua jenis dunia: noumenal world, yang merupakan dunia sejati di luar persepsi kita, dan phenomenal world, yaitu dunia seperti yang kita rasakan. 

Gajah dalam gambar ini adalah bagian dari phenomenal world---bukan realitas gajah yang sebenarnya, tetapi realitas seperti yang kita rasakan melalui persepsi visual yang terbatas. 

Kant menyarankan bahwa kita tidak pernah bisa benar-benar mengetahui realitas dunia noumenal, karena kita selalu terperangkap dalam fenomena yang dirancang oleh pikiran kita.

Dari perspektif filsafat Timur, konsep ilusi dapat ditinjau melalui ajaran Maya dalam filsafat India kuno, terutama dalam Vedanta.

Maya adalah kekuatan yang menyebabkan dunia fisik ini tampak nyata, padahal sebenarnya hanyalah ilusi. 

Sama seperti gambar gajah yang tampaknya terdiri dari dua, namun sebenarnya empat, manusia sering kali terjebak dalam ilusi, menganggap realitas fisik sebagai satu-satunya yang ada. 

Dalam konteks ini, gajah menjadi perumpamaan tentang betapa kompleksnya realitas dan ilusi yang kita hadapi setiap hari. 

Dunia fisik adalah hasil dari persepsi yang dibentuk oleh Maya, yang pada akhirnya menjauhkan kita dari kebenaran tertinggi.

Buddha juga mengajarkan konsep yang serupa tentang Anicca, atau ketidakkekalan. 

Segala sesuatu dalam dunia ini bersifat sementara dan berubah, dan keterikatan pada persepsi palsu atau bentuk ilusi hanya akan membawa penderitaan. 

Ketika kita melihat gajah dalam gambar ini, kita diajak untuk tidak hanya melihat sekadar garis dan bentuk, tetapi juga mempertanyakan tentang realitas di baliknya.

Akhirnya, gambar ilusi ini menjadi perenungan filsafat tentang keterbatasan persepsi manusia. 

Melalui lensa Plato, Kant, dan filsafat Timur seperti Vedanta, kita menyadari bahwa apa yang kita lihat bukanlah selalu kenyataan. 

Ilusi gajah ini menunjukkan bahwa kenyataan sering kali lebih kompleks daripada yang tampak pada permukaan, dan pemahaman kita tentang dunia harus selalu diuji oleh pemikiran kritis dan refleksi filosofis.

Keterangan:

Gambar yang dimaksud dalam artikel ini dapat dilihat di akun Instagram (IG) dari Mohssin Amghar (@mohsart29). Karena ketentuan dari Kompasiana bahwa gambar tidak boleh berasal dari sumber Google, Twitter, Facebook, Instagram atau media sosial lainnya. Silakan pembaca menelusuri sendiri gambar yang saya maksud tersebut pada akun IG yang telah saya sebutkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun