Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tekanan Publikasi Vs Integritas Akademik, Dampak Pemalsuan Data Ilmiah

4 September 2024   06:18 Diperbarui: 4 September 2024   06:24 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia akademis, kejujuran dan integritas adalah pilar yang menopang pencarian ilmu pengetahuan. Namun, ironisnya, skandal pemalsuan data ilmiah semakin sering terjadi dan mengguncang kepercayaan publik terhadap komunitas ilmiah. 

Artikel oleh Daniele Fanelli yang diterbitkan dalam jurnal PLoS ONE pada Mei 2009 dengan judul "How Many Scientists Fabricate and Falsify Research? A Systematic Review and Meta-Analysis of Survey Data" membuka mata kita terhadap realita yang mengkhawatirkan ini. Artikel ini telah disitasi lebih dari 2300 kali. 

Fanelli melakukan meta-analisis dari data survei untuk mengukur seberapa sering ilmuwan memalsukan atau memodifikasi data. Hasilnya menunjukkan bahwa sekitar 1,97% ilmuwan mengakui telah memalsukan data setidaknya sekali -- sebuah angka yang mungkin tampak kecil, namun memiliki implikasi besar dalam dunia penelitian.

Lebih jauh lagi, penelitian ini mengungkapkan bahwa hingga 33,7% ilmuwan mengakui praktik riset yang dipertanyakan, termasuk memodifikasi hasil penelitian untuk mempercantik laporan. Temuan ini bukan hanya menyoroti prevalensi masalah tersebut, tetapi juga mempertanyakan efektivitas sistem peer review dan regulasi yang ada saat ini dalam menjamin integritas ilmiah.

Di era kecerdasan buatan saat ini, fenomena fabrikasi dan pemalsuan data dapat dilakukan dengan jauh lebih mudah. Algoritma yang canggih mampu menghasilkan data sintetis yang terlihat sangat meyakinkan, meningkatkan risiko penyalahgunaan dalam studi ilmiah. 

Oleh karena itu, tantangan untuk mempertahankan integritas akademik menjadi semakin kompleks. Ini menuntut implementasi alat deteksi yang lebih canggih dan etika AI yang kuat dalam kurikulum pendidikan akademis.

Dalam konteks ini, pentingnya pendidikan dan pelatihan integritas ilmiah menjadi semakin mendesak. Sistem akademik perlu mengkaji ulang dan memperkuat struktur yang mendukung etika penelitian, mulai dari kurikulum pendidikan hingga kebijakan di laboratorium dan lembaga penelitian. 

Kita perlu memastikan bahwa ilmuwan muda dibekali dengan pemahaman yang kuat tentang etika penelitian, dan lebih penting lagi, bahwa mereka melihat nilai intrinsik dari kejujuran ilmiah bukan hanya sebagai aturan, tetapi sebagai fondasi dari pencarian pengetahuan itu sendiri.

***

Tantangan terbesar dalam mengatasi kecurangan akademik adalah deteksi dan pencegahan yang efektif. Berdasarkan temuan Fanelli, metode pengawasan yang ada saat ini mungkin tidak cukup mampu mengidentifikasi kasus pemalsuan data sampai skandal benar-benar terungkap. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas kontrol internal dalam riset ilmiah. Apa yang menjadi lebih mengkhawatirkan adalah pengakuan dari ilmuwan bahwa mereka cenderung memilih, menghilangkan, atau memalsukan data untuk mendapatkan dana penelitian atau publikasi. Realitas ini mencerminkan sebuah krisis integritas yang mendalam yang mungkin telah mengakar dalam beberapa aspek dari praktek ilmiah.

Dari perspektif metodologis, Fanelli memperlihatkan bahwa survei yang dilakukan melalui pendekatan langsung kepada responden cenderung menghasilkan respons yang lebih jujur dibandingkan dengan survei yang dikirim melalui pos. Ini mengindikasikan bahwa anonimitas dan cara pengumpulan data dapat memengaruhi kesediaan ilmuwan untuk mengakui perbuatan mereka. 

Lebih lanjut, penelitian ini juga menunjukkan variasi yang signifikan dalam tingkat pengakuan di antara disiplin ilmiah yang berbeda, dengan penelitian medis dan farmasi melaporkan insiden kecurangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan disiplin lain. Angka-angka ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana tekanan untuk menghasilkan hasil yang bisa dipublikasikan dan mendapatkan pendanaan dapat mendorong perilaku tidak etis.

Di sisi lain, perbedaan dalam frekuensi pengakuan antara ilmuwan muda dan mereka yang lebih senior juga memperlihatkan bahwa pengalaman dan posisi dalam hierarki akademis dapat memengaruhi persepsi dan perilaku terkait integritas penelitian. Ilmuwan yang lebih tua mungkin lebih terikat dengan norma-norma etika tradisional dan oleh karena itu kurang mungkin untuk melaporkan perilaku yang meragukan, atau mungkin lebih mahir dalam menyembunyikan kecurangan.

Ketika kita mengkaji ulang data dan argumentasi yang disajikan oleh Fanelli, menjadi jelas bahwa kita membutuhkan pendekatan multidisiplin dan multilevel untuk memahami dan mengatasi masalah integritas penelitian. Ini bukan hanya tentang memperbaiki cara kita mengumpulkan data dan merespons temuan, tetapi juga tentang bagaimana kita mendidik dan melatih ilmuwan, serta bagaimana kita membangun dan memelihara sebuah budaya ilmiah yang etis dan transparan.

***

Kasus pemalsuan dan pengubahan data ilmiah yang terungkap melalui penelitian Fanelli harus menjadi panggilan bangun bagi komunitas akademis global. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan integritas individual; perlu ada sistem yang lebih kuat untuk memvalidasi dan memverifikasi hasil penelitian. 

Sistem ini harus meliputi audit reguler, pelatihan etika yang lebih intensif, dan transparansi penuh dalam proses publikasi dan peninjauan rekan sejawat. Peran lembaga pendidikan dan penelitian sangat kritis dalam membentuk norma dan nilai yang menegaskan pentingnya kejujuran dan akurasi dalam penelitian ilmiah.

Akhirnya, pertimbangan harus diberikan terhadap bagaimana kita mengukur dan menghargai keberhasilan dalam riset ilmiah. Kita perlu mengurangi tekanan untuk "publish or perish" yang dapat mendorong perilaku tidak etis dan fokus lebih pada kualitas dan dampak penelitian jangka panjang. 

Mengatasi kecurangan ilmiah memerlukan lebih dari sekadar deteksi dan hukuman; itu membutuhkan perubahan budaya yang mendalam dalam cara kita melakukan dan mengkomunikasikan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa ilmu pengetahuan terus menjadi pilar kebenaran dan kemajuan dalam masyarakat kita.

Referensi

Fanelli, D. (2009). How Many Scientists Fabricate and Falsify Research? A Systematic Review and Meta-Analysis of Survey Data. PLoS ONE, 4(5), e5738. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0005738

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun