Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politik Indonesia Perlu Kedewasaan, Bukan Framing Geopolitik Terus

2 September 2024   11:49 Diperbarui: 3 September 2024   17:19 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi geopolitik. (Sumber: Freepik.com)

Ketika berbicara tentang konflik, baik di tingkat nasional maupun internasional, istilah geopolitik kerap menjadi 'framing' utama yang dilemparkan ke publik. 

Para politisi, media, dan pengamat sering kali mengemas isu-isu dengan sentuhan geopolitik, seolah-olah setiap perseteruan adalah bagian dari permainan besar yang mengharuskan kita memilih sisi. 

Sayangnya, pendekatan ini lebih sering menyerupai pertikaian antar supporter sepakbola daripada diskusi dewasa yang dibutuhkan untuk memahami dan menyelesaikan konflik.

Di Indonesia, kita melihat hal ini berulang kali terjadi. Setiap kali ada konflik internal, entah itu soal politik identitas, persaingan bisnis, atau bahkan perbedaan pendapat yang sederhana, segera ada narasi yang diangkat bahwa ini semua adalah bagian dari strategi geopolitik. 

Padahal, banyak dari konflik ini hanyalah manifestasi dari masalah domestik yang tidak terselesaikan, diperburuk oleh ketidakdewasaan dalam berpolitik.

Misalnya, dalam kasus perebutan pengaruh antara berbagai partai politik di Indonesia, kita sering melihat klaim bahwa pihak tertentu didukung oleh kekuatan asing atau berusaha mengubah peta geopolitik Indonesia. 

Namun, jika ditelisik lebih dalam, banyak dari konflik ini lebih menyerupai perselisihan antar supporter yang saling klaim kebenaran tanpa dasar yang kuat. 

Mengapa harus selalu ada musuh luar yang disalahkan? Tidak bisakah kita mengakui bahwa sebagian besar konflik ini berasal dari ketidakmampuan kita untuk berdialog secara sehat dan mencari solusi yang bermanfaat bagi semua pihak?

Hal ini tidak hanya terjadi di tataran elit politik. Di media sosial, kita melihat hal yang sama. Masyarakat terpecah dalam kubu-kubu yang memperlakukan politik layaknya pertikaian antar klub sepakbola, yang mana loyalitas terhadap 'tim' lebih penting daripada kebenaran atau solusi yang logis. 

Setiap argumen yang tidak sejalan dengan pandangan kelompok tertentu langsung dicap sebagai upaya geopolitik untuk merongrong bangsa. Bahkan ketika tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut.

Menurut data dari Kompas.com, 45% dari opini politik yang diterbitkan di media online pada tahun 2023 mengandung elemen yang mengaitkan konflik domestik dengan geopolitik internasional. Angka ini menunjukkan betapa kuatnya narasi geopolitik dalam pembingkaian konflik di Indonesia. 

Namun, ini juga memperlihatkan betapa dangkalnya analisis yang sering digunakan. Daripada mengkaji masalah dengan serius, kita memilih untuk menutupi kelemahan kita dengan narasi geopolitik yang bombastis.

Sikap seperti ini justru membuat kita semakin jauh dari solusi nyata. Alih-alih berusaha memahami akar masalah yang sebenarnya, kita terjebak dalam permainan blame game yang tidak ada akhirnya. 

Ini seperti menyaksikan supporter sepakbola yang bersikeras bahwa tim mereka tidak mungkin salah, dan setiap kekalahan pasti karena wasit yang tidak adil atau konspirasi lawan. Padahal, bisa jadi tim mereka memang bermain buruk atau tidak siap menghadapi tantangan.

Indonesia, sebagai bangsa, perlu segera keluar dari mentalitas ini. Politik seharusnya bukan tentang memenangkan pertempuran narasi atau mengumpulkan lebih banyak supporter di belakang layar geopolitik. 

Politik harus tentang bagaimana kita bisa membangun masa depan yang lebih baik dengan kebijakan yang matang dan berpikir panjang, bukan tentang bagaimana kita bisa mengalahkan 'lawan' dalam setiap pertarungan. 

Jika kita terus melihat konflik dari kacamata geopolitik yang sempit, kita hanya akan terus terjebak dalam lingkaran setan yang tidak ada ujungnya.

Kita perlu lebih dewasa dalam berpolitik. Kita harus mulai melihat konflik sebagai peluang untuk berkembang, bukan sebagai medan perang yang harus dimenangkan. 

Kita perlu mulai menganggap politik sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan bersama, bukan sebagai ajang adu kekuatan antar supporter. 

Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton dalam permainan geopolitik yang sebenarnya tidak pernah kita pahami sepenuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun