Di dunia pendidikan STEM, di mana sains dan teknologi kerap mendominasi, kepedulian seringkali dilupakan atau dipandang sebelah mata.Â
Namun, penelitian terkini yang dipelopori oleh Ashlyn E. Pierson dan rekan-rekan dalam artikel berjudul "Intrinsic and instrumental care in pen pal letters: Recognizing care in STEM classrooms," menunjukkan bahwa kepedulian bukan hanya pelengkap, tetapi justru inti penting yang menggerakkan praktek ilmiah.Â
Khususnya dalam konteks pendidikan, kepedulian bisa memainkan peranan krusial dalam membentuk etos belajar yang lebih inklusif dan menyeluruh.
Dalam penelitian yang dilakukan di dua kelas STEM yang melibatkan siswa kelas enam dan sembilan, kepedulian terhadap teman sebaya dan objek studi (seperti ikan guppy dalam eksperimen ekologi) mengemuka sebagai faktor penting dalam proses belajar.Â
Siswa tidak hanya belajar tentang ilmu biologi atau ekologi dari buku teks, tetapi mereka juga belajar bagaimana merawat dan memahami kebutuhan hidup makhluk hidup lainnya.Â
Ini bukan hanya soal memasukkan nilai-nilai empati ke dalam kurikulum, tetapi lebih tentang mengintegrasikan empati sebagai bagian dari proses pembelajaran sains itu sendiri.
Melalui pertukaran surat antar siswa yang disebut 'pen pal letters', siswa tidak hanya berkomunikasi tentang materi pelajaran, tetapi juga tentang perasaan mereka, kekhawatiran, dan harapan terhadap makhluk hidup yang mereka pelajari.Â
Ini menciptakan sebuah ruang dialogis yang lebih personal dan mendalam, di mana siswa belajar untuk mengartikulasikan dan menghargai perasaan tidak hanya manusia, tetapi juga lebih dari manusia, seperti ikan guppy dalam studi mereka.
Ini mengajarkan kepada kita bahwa sains bukan hanya soal fakta dan data, tetapi juga tentang konteks, empati, dan tanggung jawab etis.Â
Dalam pendidikan STEM, kita perlu mengakui dan memelihara kepedulian ini, karena dengan demikian kita tidak hanya mendidik para ilmuwan yang kompeten, tetapi juga warga dunia yang peduli dan etis.