Sikap antitesis dalam masyarakat Indonesia, yang sering kali memilih jalan berbeda dari arus utama, tidak hanya dipengaruhi oleh preferensi individu tetapi juga oleh dinamika sosial yang lebih luas. Sosiolog Pierre Bourdieu menawarkan perspektif yang relevan melalui konsep habitus---seperangkat disposisi yang terbentuk dari pengalaman dan lingkungan sosial individu. Habitus mempengaruhi cara orang berpikir, merasakan, dan bertindak, termasuk dalam konteks politik.
Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, habitus masyarakat urban yang cenderung kritis dan independen berperan penting dalam membentuk sikap antitesis. Jakarta, sebagai pusat urbanisasi dan modernisasi di Indonesia, memiliki populasi yang semakin terdidik, dengan akses lebih besar terhadap informasi dan media. Akibatnya, masyarakat Jakarta lebih cenderung mempertanyakan status quo dan mencari alternatif yang lebih sesuai dengan nilai-nilai yang mereka yakini, termasuk kebebasan, transparansi, dan partisipasi politik yang lebih inklusif.
Calon independen menjadi representasi dari perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang dianggap monopolistik. Mereka menawarkan narasi yang berbeda dari calon-calon partai besar, sering kali dengan fokus pada reformasi dan perubahan yang diinginkan oleh masyarakat. Hal ini menarik bagi pemilih yang merasakan adanya ketidakpuasan terhadap sistem yang ada, terutama mereka yang melihat KIM Plus sebagai simbol dari praktik oligarki yang mengancam prinsip demokrasi.
Namun, meskipun dukungan terhadap calon independen sebagai ekspresi antitesis ini kuat, tantangan dalam memenangkan Pilkada tetap besar. Calon independen harus mampu menggerakkan habitus masyarakat ini menjadi kekuatan politik nyata, dengan mengorganisir dukungan yang solid, memanfaatkan media sosial untuk kampanye yang efektif, dan menarik perhatian media arus utama untuk meningkatkan profil mereka. Selain itu, mereka juga perlu menavigasi berbagai hambatan birokratis dan regulasi yang sering kali dirancang untuk menguntungkan calon-calon dari partai besar.
Teori  habitus Bourdieu menunjukkan bahwa meskipun individu dan kelompok dapat bertindak secara antitesis terhadap struktur yang ada, mereka tetap berada dalam batas-batas yang ditentukan oleh lingkungan sosial mereka. Dalam konteks ini, calon independen harus dapat mengubah dukungan antitesis ini menjadi basis politik yang kuat, dengan memahami dan menggerakkan habitus masyarakat Jakarta yang kritis dan independen.
Pada akhirnya, meskipun calon independen menghadapi banyak rintangan, kemenangan mereka dalam Pilkada DKI Jakarta 2024 bukanlah sesuatu yang mustahil. Dengan dukungan yang kuat dari masyarakat yang memiliki sikap antitesis, serta strategi kampanye yang efektif, mereka dapat mengubah dinamika politik di Jakarta dan mungkin memberikan kejutan besar dalam kontestasi demokrasi yang semakin kompetitif ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H