Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Mengkritisi Desakralisasi Profesor ala Fathul Wahid

25 Juli 2024   22:15 Diperbarui: 25 Juli 2024   22:33 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi desakralisasi profesor. (Sumber: KOMPAS/HERYUNANTO)

Tampaknya pendapat Fathul Wahid tentang desakralisasi profesor dan tanggung jawab intelektual publik, sebagaimana dimuat dalam Kompas.id (25 Juli 2024), memang mendesak untuk direnungkan.

Akan tetapi, harus diakui bahwa narasinya menyajikan simpul masalah yang terkesan terlalu idealistis dan mungkin sedikit berlebihan dalam menggambarkan situasi aktual. 

Apakah benar kehadiran gelar dan status sosial semata-mata telah mengikis nilai intelektualisme hingga titik nadir keefektifannya dalam masyarakat? 

Seringkali realitasnya tidak seragam dan kompleks, tidak hitam putih seperti yang digambarkan.

Selanjutnya, Wahid mengutarakan bahwa surat edaran tentang penghapusan penulisan gelar di Universitas Islam Indonesia dapat membantu mengurangi praktik 'jual-beli' status akademik. 

Namun, apakah ini merupakan solusi nyata atau hanya sebuah langkah simbolis yang menarik perhatian publik tanpa efek substantif jangka panjang? 

Terkadang, tindakan seperti ini bisa jadi lebih bersifat peragaan---sebuah 'pencitraan' di mata publik---dibandingkan dengan perubahan struktural yang mendalam dalam sistem pendidikan tinggi.

Di sisi lain, ada aspek-aspek lain yang terabaikan dalam diskursus Wahid. 

Meskipun dia menyerukan kembali kepada semangat kolegialitas dan tanggung jawab publik, terdapat minimnya pembahasan tentang bagaimana struktur kebijakan pendidikan tinggi dan faktor eksternal seperti tekanan pasar dan kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap dinamika ini. 

Intelektual publik memang harus aktif dalam debat kebijakan dan pemikiran publik, tetapi mereka juga beroperasi dalam lingkungan yang tidak sepenuhnya berada dalam kontrol mereka. 

Kritik harus lebih terfokus pada sistem yang memungkinkan distorsi ini, bukan hanya pada individu atau simbol-simbol status.

Akhirnya, Wahid tampaknya menegaskan kembali pentingnya peran akademisi sebagai pengawal moral dan intelektual dalam masyarakat. 

Namun, dalam melakukan itu, ia mengesampingkan bahwa tanggung jawab ini bukan hanya sebatas kepada mereka yang menyandang gelar profesor. 

Setiap individu dalam masyarakat, terlepas dari status akademis, memiliki peran dalam menegakkan nilai-nilai intelektual dan moral. 

Desakralisasi yang sejati akan terjadi bukan hanya ketika gelar dan status sosial direduksi, tetapi ketika setiap warga negara dilibatkan secara aktif dalam diskursus dan praktik intelektual publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun