Pengorbanan dan Pelarian
Hamid Zebari, seorang mantan menteri pertanian Irak, menghadapi masa-masa sulit setelah dipecat dan dijadikan kambing hitam atas kegagalan panen gandum. Mengingat nasib pendahulunya yang menghilang secara misterius, Hamid memilih untuk melarikan diri bersama istrinya yang sedang hamil. Mereka memulai perjalanan berbahaya dari Baghdad ke Erbil, kemudian ke Sulaimania, dan akhirnya menyeberangi perbatasan ke Turki menggunakan bantuan penyelundup Kurdi. Setelah perjalanan panjang dan melelahkan, mereka berhasil mencapai Istanbul. Di sana, Hamid segera meminta suaka politik di Kedutaan Amerika, menggambarkan dirinya sebagai 'tangkapan yang baik' bagi pemerintah Amerika karena statusnya sebagai mantan pejabat tinggi Irak.
Dalam waktu singkat, Hamid dan Shereen diterima di Amerika Serikat, di mana mereka mulai kehidupan baru dengan harapan dan ketakutan yang berbaur. Mereka menetap di New York, di mana Hamid membuka toko karpet, berharap dapat memulai segalanya dari awal. Kehidupan di Amerika membawa campuran kesulitan dan kesempatan, memungkinkan Hamid untuk menikmati kebebasan dan menjauh dari bayang-bayang masa lalunya yang kelam.
Namun, kenangan tentang Irak tetap menghantui Hamid, mengingatkannya pada segala yang telah ia korbankan: kedudukan, keamanan, dan tanah airnya. Meski begitu, Hamid tetap bertekad untuk membangun masa depan yang lebih baik untuk keluarganya, berpegang teguh pada harapan bahwa Amerika adalah tempat di mana segala sesuatu mungkin terjadi, tempat dimana kedua anaknya dapat tumbuh dan berkembang jauh dari ketakutan dan kekacauan politik Irak.
Sebagai simbol komitmen pada kehidupan barunya, Hamid dan Shereen dengan bangga menggantung nama baru mereka di atas pintu toko, memulai bab baru dengan identitas yang baru pula di tanah harapan dan mimpi. Mereka tidak hanya meninggalkan Irak tetapi juga masa lalu yang penuh gejolak untuk mengejar impian Amerika yang sering diceritakan tapi jarang terwujud dengan mudah.
Kembali ke Akar
Empat tahun setelah memulai kehidupan baru di Amerika, Hamid merasa perlu kembali ke Istanbul untuk membeli stok karpet baru bagi toko karpetnya yang semakin berkembang. Perjalanan ini bukan hanya tentang bisnis, tetapi juga tentang menghubungkan kembali dengan budaya dan tradisi yang pernah begitu akrab baginya. Di Istanbul, Hamid mengunjungi tiga puluh satu pedagang, memanfaatkan keterampilan tawar-menawarnya yang ia warisi dari ayahnya, seorang pedagang karpet yang terhormat. Proses barter yang memakan waktu dan penuh strategi ini mengingatkan Hamid akan masa kecilnya, yang dihabiskan di antara karpet-karpet indah dan cerita-cerita tentang penjualan dan kehidupan.
Di tengah kesibukannya, kenangan tentang tanah airnya yang telah ia tinggalkan muncul kembali. Setiap cangkir kopi Turki yang pekat, setiap helai karpet yang dijual membawa kenangan tentang apa yang telah ia tinggalkan dan apa yang telah ia bangun. Setiap karpet bukan hanya barang dagangan, tetapi juga sepotong cerita, selembar sejarah, dan jembatan antara masa lalunya yang pahit dan masa depannya yang penuh harapan.
Setelah berhasil membeli lima puluh tujuh karpet dengan nilai yang ia yakini akan menghasilkan keuntungan besar di New York, Hamid memutuskan untuk kembali lebih awal dengan penerbangan Pan Am, merasa telah mencapai lebih dari yang diharapkan dalam perjalanan ini. Dia tidak hanya membawa karpet yang akan menguntungkan toko karpetnya, tetapi juga kenangan dan pelajaran baru tentang apa artinya menjadi pria bebas di dunia yang jauh dari kekejaman yang pernah ia kenal.
Namun, kegembiraan Hamid untuk kembali ke rumah dan keluarganya yang merindukannya segera terhalang oleh pengumuman tak terduga di pesawat. Mesin pesawat mengalami masalah, memaksa mereka untuk mendarat darurat. Ironisnya, pendaratan darurat ini terjadi di Baghdad---tanah yang pernah menjadi rumahnya, sekarang menjadi ancaman nyata terhadap kehidupan dan kebebasannya. Hamid terperangkap dalam situasi menakutkan, terpaksa menghadapi masa lalunya yang kelam yang tiba-tiba saja menyeruak kembali ke permukaan di tempat yang paling tidak ia harapkan.
Hadapi Masa Lalu
Saat pesawat mendarat di Baghdad, ketakutan yang dahulu sering menghantui Hamid kembali muncul. Walaupun pendaratan tersebut hanya untuk perbaikan singkat dan tidak ada penumpang yang akan turun, Hamid tahu risiko yang dihadapinya jika ia teridentifikasi sebagai seorang pengungsi politik yang pernah melarikan diri dari rezim tersebut. Dalam situasi yang penuh tekanan ini, ia berusaha menjaga ketenangan, namun ketakutan akan keamanannya membuat jantungnya berdebar kencang.
Dalam upaya untuk menyembunyikan identitasnya, kapten pesawat mengambil langkah berani dengan menyamar Hamid sebagai salah satu awak pesawat. Hamid mencukur kumisnya yang lebat---sebuah ciri khasnya, dan mengenakan seragam copilot. Penampilan barunya, ditambah dengan kacamata hitam dan topi, seharusnya cukup untuk menyamarkannya dari pandangan curiga. Namun, saat seorang mantan anggota pengawal Saddam Hussein, yang kini menjadi kepala keamanan bandara, memasuki ruangan, Hamid merasa semua mata tertuju padanya. Kedatangan Saad al-Takriti meningkatkan ketegangan hingga ke puncaknya, menempatkan Hamid dalam risiko yang lebih besar.
Situasi menjadi semakin genting ketika Saad al-Takriti menuntut untuk melihat paspor semua awak pesawat. Kapten pesawat dan awaknya berupaya mengalihkan perhatian Saad, menciptakan kebingungan dengan berbicara keras dan berpindah-pindah tempat untuk mengaburkan jumlah sebenarnya dari awak. Ketika Saad mulai curiga dan memeriksa lebih detil, seorang pramugari yang berani berkomunikasi dengan kapten pesawat Prancis di dekatnya, menyelipkan Hamid keluar dari situasi tersebut dengan cerdik.
Momen tegang berlanjut saat pesawat Air France berangkat, memungkinkan Hamid dan awak pesawat Amerika lainnya untuk menarik napas lega. Dalam beberapa saat yang mendebarkan, solidaritas dan keberanian dari orang-orang di sekitarnya memastikan bahwa Hamid bisa kembali ke pesawat tanpa terdeteksi.
Setelah kepanikan mereda dan pesawat siap untuk lepas landas, Hamid, sekarang bebas dari penyamarannya, duduk di kursinya, merenungkan betapa dekatnya ia dengan bencana. Pengalaman ini mempertegas rasa syukur atas kehidupan barunya di Amerika, kebebasan yang telah ia perjuangkan keras untuk dicapai, dan kesadaran bahwa masa lalunya selalu akan menjadi bagian dari dirinya, meskipun ia kini menatap masa depan dengan harapan dan tekad baru.
Saat akhirnya tiba di New York, sambutan hangat dari keluarganya mengonfirmasi bahwa keputusan untuk memulai hidup baru di tempat yang jauh adalah pilihan yang benar. Hamid memeluk istri dan anak-anaknya, berjanji bahwa masa depan mereka akan jauh dari bayang-bayang ketakutan yang pernah menghantui mereka. Cerita Hamid Zebari tidak hanya tentang pelarian dari bahaya, tetapi juga tentang pencarian identitas baru, kebebasan, dan tempat yang dapat disebut rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H