Malam itu, setelah mengundang mahasiswa tersebut untuk makan malam di apartemennya, profesor menyuguhkan suasana yang penuh dengan kehangatan meski dalam kesederhanaan. Dinding-dinding apartemen dipenuhi dengan gambar-gambar yang menggambarkan pemandangan Inggris, dan buku-buku sastra Inggris terhampar rapi di rak bukunya.Â
Dalam percakapan yang berlangsung, topik berpindah dari sastra ke politik, dengan profesor menunjukkan ketajamannya dalam mengamati dinamika politik Inggris dan mencerminkan kekhawatirannya atas masa depan Hungaria di bawah bayang-bayang Soviet.
Saat makan malam, profesor menyampaikan kekagumannya terhadap keberanian dan ketangguhan bangsa Inggris, mengingat kembali beberapa momen penting dalam sejarah seperti perang Suez dan kebijakan Churchill. Mahasiswa tersebut, sementara menikmati hidangan yang sederhana namun penuh makna, merenungkan nasihat profesor tentang pentingnya pengalaman langsung dalam membentuk seorang penulis.
Malam beranjak larut, dan saat mereka berpisah, ada rasa tidak ingin lepas yang terpancar dari mata profesor---sebuah perpisahan yang mungkin menjadi yang terakhir.Â
Dengan berat hati, mahasiswa tersebut berjalan kembali ke hotel, membawa kenangan tentang malam yang penuh wawasan dan refleksi mendalam. Hari-hari berikutnya, mahasiswa tersebut menghabiskan waktunya menjelajahi Budapest, namun pikirannya sering melayang kembali ke percakapan mereka.
Ketika membaca ulang obituari profesor beberapa tahun kemudian, mahasiswa kini sudah menjadi penulis, dia teringat kembali pada malam itu---sebuah pertemuan singkat yang meninggalkan kesan mendalam dan perubahan dalam pandangannya tentang kehidupan, politik, dan kekuatan sastra. Cerita ini, sementara menyentuh keintiman personal, juga melukiskan potret emosional sebuah bangsa yang sedang berjuang dengan identitas dan masa depannya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H