Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menata Ulang Realitas: Bagaimana Simbol Sosial Membentuk Identitas Kita

28 Juni 2024   06:15 Diperbarui: 28 Juni 2024   14:25 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Image by Racool_studio on Freepik

Realitas Sosial dan Persepsi Identitas

Dalam masyarakat kontemporer, persepsi identitas dan realitas sosial sering kali dibentuk oleh konvensi dan struktur yang telah lama ada. Gambar karikatur (lihat gambar di bawah) yang menggambarkan tikus dan gajah yang saling memahat patung satu sama lain, dengan ukuran yang berlawanan dari ekspektasi normal, menawarkan sebuah metafora yang kuat untuk memahami dinamika sosial ini. 

Ilustrasi: Simbol sosial membentuk identitas kita. (Threads.net/@gayan95_ranasinghe)
Ilustrasi: Simbol sosial membentuk identitas kita. (Threads.net/@gayan95_ranasinghe)

Menggunakan teori sosiologi dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, yang mengemukakan bahwa realitas sosial adalah sebuah konstruksi yang dibentuk melalui interaksi sehari-hari, kita dapat melihat bagaimana patung---sebagai simbol identitas---dapat mengubah persepsi kita terhadap realitas.

Berger dan Luckmann dalam buku mereka "The Social Construction of Reality" menjelaskan bahwa apa yang kita anggap sebagai 'nyata' adalah hasil dari proses berkelanjutan dari peneguhan dan pemahaman bersama yang dibagikan dalam masyarakat. 

Dalam konteks karikatur ini, tikus yang memahat patung gajah kecil dan gajah yang memahat patung tikus besar menggambarkan bagaimana identitas sosial---yang biasanya dianggap tetap dan tidak berubah---dapat diinterpretasikan ulang dan diubah melalui tindakan simbolis.

Selain itu, gambar tersebut juga mengundang kita untuk mempertanyakan 'kekuatan' dan 'pengaruh' yang sering dikaitkan dengan ukuran fisik atau status sosial. Ini menantang asumsi bahwa kekuatan besar harus selalu ditunjukkan dalam bentuk besar dan dominan. 

Dalam hal ini, tikus, meskipun kecil, mampu menghasilkan representasi diri yang besar dan mengesankan, sedangkan gajah, meskipun besar, memilih untuk memperkecil representasi dirinya. Ini mengajukan pertanyaan filosofis tentang esensi dari 'besar' dan 'kecil', dan bagaimana konsep ini dibentuk dan dipahami dalam konteks sosial.

Teori ini menunjukkan bahwa tidak hanya kita yang membentuk realitas sosial kita, tetapi realitas sosial itu sendiri juga membentuk kita. Karikatur tersebut menggambarkan konsep ini dengan menunjukkan bahwa melalui seni---yakni memahat---kedua karakter dapat mengubah bagaimana mereka dilihat oleh dunia, dan pada gilirannya, bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri dan satu sama lain.

Kita juga dipaksa untuk memikirkan ulang nilai dan signifikansi yang kita tempatkan pada individu berdasarkan atribut fisik atau posisi sosial mereka. Ini merupakan pemikiran penting dalam era yang sering kali masih terlalu cepat menilai dan mengategorikan orang berdasarkan penampilan atau asal-usulnya, tanpa mengakui kompleksitas individual yang melekat pada setiap orang. 

Dengan demikian, karikatur ini tidak hanya menawarkan komentar sosial yang cerdas tetapi juga mengundang introspeksi mendalam tentang nilai-nilai yang kita pegang dalam menilai orang lain.

Budaya sebagai Panggung Perubahan

Penggunaan patung dalam karikatur yang kita analisis tidak hanya merefleksikan perubahan dalam persepsi identitas, tetapi juga memberikan wawasan tentang bagaimana budaya dapat berfungsi sebagai arena untuk perubahan sosial. 

Antropologi, sebagai studi tentang manusia dan budaya, menawarkan kerangka kerja yang berguna untuk memahami dinamika ini. Clifford Geertz, dalam teorinya mengenai interpretasi budaya, menyarankan bahwa manusia adalah penafsir yang terus-menerus mencari makna dari simbol-simbol budaya yang dibentuk dan dibagi dalam masyarakat mereka.

Dalam konteks karikatur, pahatan yang dibuat oleh tikus dan gajah berfungsi sebagai simbol budaya yang menantang norma sosial dan harapan. Patung tikus yang besar dan patung gajah yang kecil menunjukkan bagaimana budaya---melalui seni dan simbolisme---dapat digunakan untuk membalikkan harapan konvensional dan menawarkan perspektif baru tentang kekuatan dan peran dalam masyarakat. 

Ini sejalan dengan pandangan Geertz bahwa manusia menggunakan simbol budaya untuk "bermain" dengan realitas mereka; dalam hal ini, patung menjadi medium untuk eksplorasi dan ekspresi identitas yang tidak terbatas oleh konstruksi sosial yang ada.

Selain itu, proses memahat patung oleh kedua karakter dapat dilihat sebagai bentuk dari apa yang Geertz sebut sebagai "teater sosial" di mana individu dan kelompok dalam masyarakat mengambil peran tertentu yang sering kali ditetapkan oleh norma budaya tetapi juga dapat ditantang dan diubah. 

Tikus dan gajah, melalui kegiatan mereka, berpartisipasi dalam dialog sosial ini, mengajukan pertanyaan tentang siapa yang berhak untuk mewakili atau diwakili dalam skala besar.

Teori ini juga mengingatkan kita bahwa setiap individu memiliki potensi untuk mengubah cara mereka dilihat oleh masyarakat melalui ekspresi budaya. Transformasi patung dalam karikatur menunjukkan bahwa perubahan persepsi sosial dapat terjadi ketika individu mengambil inisiatif untuk mengekspresikan diri mereka dalam bentuk yang menantang harapan yang ada. Ini adalah demonstrasi penting dari kekuatan agen individu dalam mengubah narasi budaya yang lebih besar.

Secara keseluruhan, perubahan ini tidak hanya memperkaya pemahaman kita tentang identitas dan kekuatan, tetapi juga menyoroti peran vital yang dimainkan oleh budaya sebagai medan kontestasi dan perubahan. Dengan memperluas wawasan kita tentang bagaimana identitas dapat dibentuk dan dibentuk kembali, karikatur ini menawarkan pelajaran yang berharga tentang fleksibilitas budaya dan potensi transformasinya dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan dinamis. 

Ini menunjukkan bahwa seni, sebagai salah satu ekspresi budaya, memiliki kekuatan yang tidak hanya merefleksikan realitas tetapi juga merekonstruksi dan mengubahnya.

Refleksi Filosofis tentang Ukuran dan Kekuatan

Karikatur tikus dan gajah yang memahat patung satu sama lain dalam ukuran yang berlawanan memperkaya diskusi kita dengan dimensi filosofis yang mendalam. 

Dalam hal ini, filsafat menawarkan wawasan tentang pertanyaan dasar keberadaan dan nilai: Apa yang menentukan 'besar' dan 'kecil'? Dan bagaimana konsep-konsep ini memengaruhi pemahaman kita tentang kekuatan dan status? 

Menggunakan kerangka kerja yang ditawarkan oleh filsuf Michel Foucault tentang 'kekuasaan dan pengetahuan,' kita dapat mengeksplorasi bagaimana pengetahuan mengenai kekuasaan---atau dalam kasus ini, kekuasaan yang dipersepsikan berdasarkan ukuran---dapat dibalik melalui tindakan simbolis.

Foucault dalam karyanya menunjukkan bahwa hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan tidak hanya membentuk subjek dan pengetahuan sosial, tetapi juga memiliki potensi untuk dibalik atau ditantang melalui apa yang disebutnya sebagai 'taktik kontra-diskursif.' 

Dalam gambar karikatur, pembalikan ukuran patung---dengan tikus yang lebih besar dan gajah yang lebih kecil---bisa dianggap sebagai bentuk kontra-diskursif yang menantang narasi dominan tentang ukuran dan kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa 'kecil' tidak selalu berarti lemah atau tidak berpengaruh, dan 'besar' tidak selalu menandakan kekuatan atau dominasi.

Selanjutnya, gambar tersebut juga merenungkan gagasan Platon tentang bentuk ideal. Dalam "Teori Bentuk" Plato, realitas yang kita alami adalah bayangan dari bentuk-bentuk ideal yang lebih tinggi dan lebih murni. 

Dalam konteks karikatur ini, patung yang dibuat oleh tikus dan gajah tidak hanya merepresentasikan diri mereka dalam bentuk fisik, tetapi juga sebagai eksplorasi dari bentuk ideal mereka yang diinterpretasikan melalui lensa budaya dan interaksi sosial. Patung besar tikus dan patung kecil gajah, oleh karena itu, berfungsi sebagai kritik terhadap asumsi kita tentang idealitas dan bagaimana norma-norma ini dibentuk dan diperkuat dalam masyarakat.

Di sisi lain, konsep Jean-Paul Sartre tentang 'eksistensialisme' juga relevan di sini, di mana ia menyatakan bahwa 'eksistensi mendahului esensi,' menegaskan bahwa individu menciptakan makna dan nilai mereka melalui tindakan mereka. 

Dalam karikatur, baik tikus maupun gajah aktif menciptakan representasi diri mereka yang baru dan berbeda, yang secara filosofis menunjukkan kebebasan mereka untuk mendefinisikan dan menegaskan identitas mereka jauh dari norma atau harapan yang sudah ada.

Oleh karena itu, dari sudut pandang filosofis, karikatur ini tidak hanya menarik untuk dianalisis karena penggunaan simbolisme dan metafora yang beragam, tetapi juga karena cara-cara kreatif di mana ia mengajak kita untuk mempertanyakan dan mungkin membalikkan pemahaman konvensional tentang kekuatan, ukuran, dan identitas. Ini menantang kita untuk melihat di luar permukaan dan menggali lebih dalam ke dalam nilai dan pengertian yang kita konstruksi tentang diri kita sendiri dan orang lain dalam masyarakat kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun