Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menyikapi Fenomena PHK Massal di Industri Tekstil Indonesia

16 Juni 2024   14:38 Diperbarui: 16 Juni 2024   14:40 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Krisis Industri Tekstil Indonesia

Industri tekstil Indonesia menghadapi periode penuh tantangan, yang tercermin dari gelombang PHK massal yang telah terjadi sejak awal 2024. Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang tahun 2023, terjadi pemutusan hubungan kerja yang mencapai 358.809 orang, dengan 54,36% di antaranya terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah, dua provinsi sentral industri padat karya nasional. Jumlah PHK ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, dan diperkirakan akan berlanjut jika tidak ada intervensi signifikan dari pemerintah dan para pemangku kepentingan terkait (Katadata.co.id, 09/02/2024).

Sejumlah faktor telah menyumbang pada situasi ini, salah satunya adalah penurunan permintaan global yang dipicu oleh ketidakstabilan geopolitik dan kenaikan biaya ekspor. Krisis di Eropa akibat perang Rusia-Ukraina juga telah memengaruhi daya beli global, dengan prioritas konsumsi beralih dari produk tekstil ke kebutuhan esensial seperti energi. Ini menyebabkan penurunan tajam pada permintaan produk tekstil Indonesia di pasar ekspor (Indotextiles.com, 26/03/2024).

Dari dalam negeri, faktor lain yang memperburuk kondisi adalah banjirnya produk impor, baik yang legal maupun ilegal, yang membanjiri pasar domestik. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan yang memungkinkan produk impor, yang sejatinya ditujukan untuk ekspor, dijual di pasar lokal hingga 50% dari total produksi. Peraturan Menteri Keuangan No. 131/2018 tentang Kawasan Berikat menjadi salah satu penyebab utama peningkatan pasokan produk impor di pasar domestik (Bisnis.com, 06/10/2023).

Pada saat yang sama, relokasi pabrik ke daerah dengan upah lebih murah juga menjadi strategi beberapa perusahaan untuk memangkas biaya, yang pada gilirannya berdampak pada PHK di beberapa daerah namun membuka peluang pekerjaan di daerah lain (Kompas.com, 06/11/2022). 

Menghadapi krisis yang kompleks ini, langkah-langkah intervensi strategis sangat diperlukan. Upaya pemerintah untuk meningkatkan permintaan domestik melalui kebijakan fiskal, seperti relaksasi pajak untuk industri padat karya, serta peningkatan efisiensi dan daya saing industri melalui inovasi dan peningkatan kualitas produksi, dapat memberikan dorongan yang dibutuhkan untuk memperkuat sektor ini dan menghindari lebih banyak lagi PHK di masa depan.

Menavigasi Krisis dan Mencari Solusi

Tantangan industri tekstil Indonesia tidak hanya terletak pada masalah internal dan eksternal yang telah diuraikan, tetapi juga pada dinamika ekonomi global yang serba cepat. Di tengah ancaman PHK yang berkelanjutan, penting bagi Indonesia untuk memanfaatkan peluang yang ada dengan strategi yang tepat. 

Dari sisi regulasi, ada kebutuhan mendesak bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan memodifikasi peraturan yang dapat menyebabkan dampak negatif lebih lanjut pada industri. Misalnya, Peraturan Menteri Perdagangan No. 8/2024, yang jika tidak ditinjau ulang, dapat berpotensi menyebabkan PHK massal lebih banyak lagi (Inilahkoran.id, 27/05/2024).

Pengaruh signifikan lainnya adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kawasan berikat dan impor. Seperti disebutkan sebelumnya, peraturan yang memungkinkan hingga 50% produksi untuk pasar domestik perlu direvisi agar tidak memberikan dampak negatif terhadap produsen lokal yang sudah tertekan (Bisnis.com, 06/10/2023).

Dalam menghadapi realitas ekonomi yang keras ini, beberapa pelaku industri telah mengambil langkah adaptif. Menurut data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia, sebagian perusahaan tekstil kini hanya beroperasi lima hari kerja per minggu, mengurangi dari operasi normal tujuh hari per minggu untuk menghemat biaya dan menyesuaikan dengan penurunan permintaan (Kompas.com, 06/11/2022).

Keberlanjutan industri tekstil juga tergantung pada kemampuan pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk mengintegrasikan strategi yang mencakup inovasi produk dan diversifikasi pasar. Misalnya, menggali potensi pasar domestik yang lebih luas dan menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan selera lokal bisa menjadi langkah efektif untuk mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor yang tidak stabil.

Pada akhirnya, kerja sama antar sektor pemerintahan, industri, dan komunitas bisnis lokal akan menjadi kunci dalam menavigasi masa sulit ini. Dengan mengimplementasikan kebijakan yang proaktif dan mendukung inovasi serta adaptasi industri, Indonesia dapat mengharapkan pemulihan dan pertumbuhan yang berkelanjutan di sektor tekstil. 

Kesadaran ini harus diperkuat dengan kebijakan yang tidak hanya fokus pada peningkatan produksi tetapi juga pada penciptaan ekosistem yang mendukung untuk pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun