Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pancasila dan Konflik Kultural: Menelisik Tantangan Pluralisme dalam Nasionalisme

1 Juni 2024   07:00 Diperbarui: 1 Juni 2024   07:02 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melalui refleksi ini, esai Nadjib mempertajam pemahaman kita tentang kompleksitas interaksi antara kekuasaan, kapital, dan keadilan dalam membentuk kebudayaan nasional dan identitas Indonesia. Ini membuka jalan untuk memikirkan ulang bagaimana keadilan dan kesetaraan harus menjadi fondasi dalam mengelola keanekaragaman dan kesatuan Indonesia.

Rekonseptualisasi Identitas Nasional dan Peran Pancasila

Esai "Telor Ayam Jantan dan Ibu Garuda Pertiwi" oleh Emha Ainun Nadjib berpuncak pada perenungan kritis terhadap nasionalisme dan identitas nasional Indonesia. Perdebatan tentang "kokok ayam" dan ragam interpretasinya menjadi simbol luas untuk diskusi yang lebih besar tentang apa artinya menjadi Indonesia dan bagaimana Pancasila harus ditempatkan dalam konteks modern ini.

Mengambil inspirasi dari teori identitas sosial Henri Tajfel, kita melihat bahwa identitas individu dan kolektif terbentuk melalui interaksi dalam grup dan perbandingan dengan grup lain. Dalam konteks Indonesia, identitas nasional sering kali digambarkan sebagai harmonisasi dari keberagaman---ide yang dibingkai dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, Nadjib menantang pandangan ini dengan menunjukkan bahwa sering kali ada upaya untuk memaksakan homogenitas yang mengesampingkan kekayaan keanekaragaman tersebut.

Teori dialogis Mikhail Bakhtin menawarkan wawasan lainnya. Bakhtin berpendapat bahwa makna tercipta melalui dialog, yang menekankan pentingnya berbagai suara dan perspektif dalam menciptakan keutuhan makna. Apabila kita mengaplikasikan teori ini ke dalam konteks nasionalisme Indonesia, maka menjadi jelas bahwa sebuah pendekatan yang terlalu monolitik terhadap identitas nasional---seperti yang tercermin dalam dominasi budaya "Gue-gue" Jakarta---mengabaikan prinsip dialogis yang seharusnya mendukung keberagaman.

Lebih jauh lagi, teori performatifitas Judith Butler menawarkan kerangka kerja untuk memahami bagaimana identitas dibentuk dan diaktualisasikan melalui tindakan berulang yang menegaskan norma tertentu. Dalam konteks Indonesia, peringatan dan perayaan Pancasila dapat dilihat sebagai performa nasional yang menegaskan nilai-nilai tertentu. Namun, penting untuk mempertanyakan, apakah performa ini benar-benar mencerminkan nilai dan aspirasi seluruh masyarakat Indonesia?

Nadjib menggunakan metafora Ibu Garuda Pertiwi sebagai pengingat bahwa Indonesia, seperti Garuda, adalah pengayom yang melindungi dan mendukung keberagaman anak-anaknya, bukan hanya mengatur atau menghomogenkan mereka. Ini membawa kita pada pemikiran kritis tentang bagaimana Pancasila sebagai ideologi nasional diperlukan untuk didialogkan kembali, bukan hanya diulang sebagai mantra tetapi dihidupkan sebagai prinsip yang benar-benar inklusif dan mencerminkan keberagaman Indonesia yang sebenarnya.

Dengan cara ini, Pancasila bisa kembali ke akarnya sebagai fondasi yang menghargai dan melindungi pluralitas, menjadikan Indonesia bukan hanya sekumpulan pulau tetapi satu kesatuan yang kuat dalam keragaman. Penutupan esai Nadjib mengingatkan kita semua bahwa kekuatan Indonesia terletak pada kearifannya untuk merangkul dan merayakan perbedaannya, sebuah pesan yang tetap relevan dan mendesak untuk direfleksikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun