Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Sinopsis Cerita Pendek "Liking What You See" Karya Ted Chiang

30 Mei 2024   05:10 Diperbarui: 30 Mei 2024   05:17 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen "Liking What You See". (Created by Bing Image Creator)

Pengenalan Teknologi Calliagnosia

Pada awal cerita, kita diperkenalkan dengan teknologi revolusioner bernama calliagnosia, yang memungkinkan orang untuk secara selektif menghilangkan persepsi keindahan wajah manusia. 

Calliagnosia, yang dikenal singkat sebagai 'calli', telah menjadi topik perdebatan hangat di Universitas Pembleton, tempat beberapa mahasiswa dan staf mengusulkan agar calli dijadikan syarat wajib bagi semua mahasiswa. Protagonis, Tamera Lyons, seorang mahasiswa baru, merasa terkejut dengan proposal ini dan berencana untuk mematikan 'calli' miliknya saat ia berusia delapan belas tahun, menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap gerakan tersebut.

Di lain pihak, Maria deSouza, presiden organisasi mahasiswa "Students for Equality Everywhere" (SEE), mendukung penuh inisiatif ini. Dia dan rekan-rekannya melihat calliagnosia sebagai solusi teknologi untuk memerangi 'lookism', sebuah bentuk diskriminasi yang berdasarkan penampilan fisik. Mereka berpendapat bahwa masyarakat telah gagal mengakui dan mengatasi 'lookism' meskipun telah lama mengakui dan memerangi bentuk diskriminasi lain seperti rasisme dan seksisme.

Neurolog Joseph Weingartner memberikan penjelasan ilmiah mengenai calliagnosia, menggambarkannya sebagai bentuk agnosia asosiatif---suatu kondisi di mana seseorang bisa melihat perbedaan fisik tetapi tidak mengalami reaksi estetika. Ini berarti seorang calliagnosic dapat mengenali perbedaan seperti bentuk hidung atau kondisi kulit, tetapi tidak merasakan keindahan atau kejelekan dari perbedaan tersebut.

Bagian pertama ini menetapkan panggung untuk debat etis dan sosial lebih lanjut mengenai penggunaan dan implikasi dari calliagnosia dalam masyarakat, menyoroti perpecahan antara mereka yang mendukung penggunaannya sebagai alat untuk kesetaraan sosial dan mereka yang melihatnya sebagai ancaman terhadap kebebasan individu dan pengalaman manusia alami.

Perdebatan dan Penerimaan Calliagnosia

Bagian kedua dari cerita berfokus pada pengalaman individu dengan calliagnosia dan perdebatan yang lebih luas yang terjadi di kampus Pembleton. Tamera Lyons, yang telah mematikan calliagnosianya, menghadapi dilema pribadi antara keinginannya untuk merasakan 'normal' tanpa teknologi ini dan tekanan sosial untuk mendukungnya sebagai norma baru. Ini mencerminkan perjuangan internal banyak karakter lain yang juga bergulat dengan pertanyaan tentang identitas, persepsi kecantikan, dan nilai-nilai sosial.

Perdebatan di kampus mengintensifkan ketika SEE mengorganisir panel dan diskusi untuk mengadvokasi manfaat calliagnosia, sementara kelompok oposisi yang dipimpin oleh Jeff Winthrop, menganggap calli sebagai alat yang membatasi pengalaman manusia dan kebebasan berekspresi. Winthrop berargumen bahwa pendidikan, bukan teknologi, adalah solusi yang lebih efektif dan etis dalam mengatasi prasangka berbasis penampilan.

Perdebatan ini juga mencakup perspektif dari Tamera Lyons yang kini mengalami dunia dalam perspektif baru setelah calliagnosianya dimatikan. Dia kini bisa merasakan reaksi estetis terhadap wajah-wajah yang dia lihat, yang menimbulkan pertanyaan baru tentang arti keindahan dan bagaimana persepsi ini memengaruhi interaksi sosialnya. 

Sebagai contoh, dia menemukan bahwa ketika dia melihat orang-orang yang dianggap secara objektif menarik, dia lebih cenderung mengasumsikan karakteristik positif tentang mereka, fenomena yang dikenal sebagai efek halo.

Di sisi lain, profesor Joseph Weingartner dan para pendukung teknologi ini menekankan bahwa calliagnosia tidak menghilangkan kemampuan untuk menilai dan menghargai keindahan dalam bentuk lain, seperti seni atau musik. Mereka berpendapat bahwa calli membantu individu mengutamakan karakter dan kepribadian seseorang daripada penampilan luar semata.

Bagian kedua ini menggali kedalaman perdebatan etis dan filosofis tentang calliagnosia, menggambarkan bagaimana teknologi ini berpotensi meredefinisi norma sosial dan individu serta menguji batas-batas kebebasan pribadi dalam konteks masyarakat yang semakin mengandalkan teknologi untuk menyelesaikan masalah sosial.

Resolusi dan Dampak Sosial Calliagnosia

Di bagian ketiga dan terakhir cerita ini, kita melihat resolusi dari perdebatan mengenai calliagnosia di kampus Universitas Pembleton. Setelah serangkaian diskusi panas dan kampanye yang intens dari kedua belah pihak, mahasiswa akhirnya memberikan suara dalam referendum kampus yang menentukan apakah calliagnosia akan dijadikan syarat wajib untuk semua mahasiswa. Hasil pemungutan suara menunjukkan mayoritas mendukung inisiatif ini, memicu gelombang reaksi yang beragam di seluruh kampus dan di masyarakat luas.

Tamera Lyons, yang telah mengalami kedua sisi kehidupan dengan dan tanpa calli, merasa lega namun juga bingung dengan hasil tersebut. Dia menyadari bahwa sementara teknologi ini membantu meredam bias estetika, itu juga menghilangkan beberapa aspek penting dari pengalaman manusia. Namun, perubahan ini memberinya perspektif baru tentang bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mengatasi prasangka yang mendalam dalam masyarakat.

Perdebatan di Pembleton memicu diskusi nasional tentang penggunaan teknologi dalam mengatur persepsi estetika dan implikasinya terhadap kebebasan individu. Universitas lain mulai mempertimbangkan inisiatif serupa, dan media meliput perubahan sosial yang mungkin terjadi dari penyebaran calliagnosia ini.

Di sisi lain, kehidupan kampus berubah secara signifikan. Mahasiswa yang mengadopsi calliagnosia melaporkan bahwa interaksi mereka menjadi lebih substansial, lebih berfokus pada kepribadian dan isi pembicaraan daripada penampilan luar. Hal ini menyebabkan pergeseran dalam dinamika sosial dan bagaimana persahabatan serta hubungan romantis terbentuk.

Pada akhirnya, cerita ini menutup dengan refleksi dari beberapa karakter, termasuk Maria deSouza dan Tamera Lyons, tentang dampak jangka panjang calliagnosia terhadap masyarakat dan diri mereka sendiri. Mereka menyadari bahwa meskipun teknologi dapat membantu memperbaiki beberapa masalah sosial, kompleksitas prasangka manusia dan keindahan tidak dapat sepenuhnya diatur oleh solusi teknis. 

Kisah ini meninggalkan pembaca dengan pertanyaan mendalam tentang keseimbangan antara kemajuan teknologi dan kebutuhan akan pengalaman manusia yang otentik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun