Pengenalan Teknologi Calliagnosia
Pada awal cerita, kita diperkenalkan dengan teknologi revolusioner bernama calliagnosia, yang memungkinkan orang untuk secara selektif menghilangkan persepsi keindahan wajah manusia.Â
Calliagnosia, yang dikenal singkat sebagai 'calli', telah menjadi topik perdebatan hangat di Universitas Pembleton, tempat beberapa mahasiswa dan staf mengusulkan agar calli dijadikan syarat wajib bagi semua mahasiswa. Protagonis, Tamera Lyons, seorang mahasiswa baru, merasa terkejut dengan proposal ini dan berencana untuk mematikan 'calli' miliknya saat ia berusia delapan belas tahun, menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap gerakan tersebut.
Di lain pihak, Maria deSouza, presiden organisasi mahasiswa "Students for Equality Everywhere" (SEE), mendukung penuh inisiatif ini. Dia dan rekan-rekannya melihat calliagnosia sebagai solusi teknologi untuk memerangi 'lookism', sebuah bentuk diskriminasi yang berdasarkan penampilan fisik. Mereka berpendapat bahwa masyarakat telah gagal mengakui dan mengatasi 'lookism' meskipun telah lama mengakui dan memerangi bentuk diskriminasi lain seperti rasisme dan seksisme.
Neurolog Joseph Weingartner memberikan penjelasan ilmiah mengenai calliagnosia, menggambarkannya sebagai bentuk agnosia asosiatif---suatu kondisi di mana seseorang bisa melihat perbedaan fisik tetapi tidak mengalami reaksi estetika. Ini berarti seorang calliagnosic dapat mengenali perbedaan seperti bentuk hidung atau kondisi kulit, tetapi tidak merasakan keindahan atau kejelekan dari perbedaan tersebut.
Bagian pertama ini menetapkan panggung untuk debat etis dan sosial lebih lanjut mengenai penggunaan dan implikasi dari calliagnosia dalam masyarakat, menyoroti perpecahan antara mereka yang mendukung penggunaannya sebagai alat untuk kesetaraan sosial dan mereka yang melihatnya sebagai ancaman terhadap kebebasan individu dan pengalaman manusia alami.
Perdebatan dan Penerimaan Calliagnosia
Bagian kedua dari cerita berfokus pada pengalaman individu dengan calliagnosia dan perdebatan yang lebih luas yang terjadi di kampus Pembleton. Tamera Lyons, yang telah mematikan calliagnosianya, menghadapi dilema pribadi antara keinginannya untuk merasakan 'normal' tanpa teknologi ini dan tekanan sosial untuk mendukungnya sebagai norma baru. Ini mencerminkan perjuangan internal banyak karakter lain yang juga bergulat dengan pertanyaan tentang identitas, persepsi kecantikan, dan nilai-nilai sosial.
Perdebatan di kampus mengintensifkan ketika SEE mengorganisir panel dan diskusi untuk mengadvokasi manfaat calliagnosia, sementara kelompok oposisi yang dipimpin oleh Jeff Winthrop, menganggap calli sebagai alat yang membatasi pengalaman manusia dan kebebasan berekspresi. Winthrop berargumen bahwa pendidikan, bukan teknologi, adalah solusi yang lebih efektif dan etis dalam mengatasi prasangka berbasis penampilan.
Perdebatan ini juga mencakup perspektif dari Tamera Lyons yang kini mengalami dunia dalam perspektif baru setelah calliagnosianya dimatikan. Dia kini bisa merasakan reaksi estetis terhadap wajah-wajah yang dia lihat, yang menimbulkan pertanyaan baru tentang arti keindahan dan bagaimana persepsi ini memengaruhi interaksi sosialnya.Â
Sebagai contoh, dia menemukan bahwa ketika dia melihat orang-orang yang dianggap secara objektif menarik, dia lebih cenderung mengasumsikan karakteristik positif tentang mereka, fenomena yang dikenal sebagai efek halo.
Di sisi lain, profesor Joseph Weingartner dan para pendukung teknologi ini menekankan bahwa calliagnosia tidak menghilangkan kemampuan untuk menilai dan menghargai keindahan dalam bentuk lain, seperti seni atau musik. Mereka berpendapat bahwa calli membantu individu mengutamakan karakter dan kepribadian seseorang daripada penampilan luar semata.