Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Komunikasi Assertif dalam Bimbingan Konseling di Sekolah

15 April 2024   07:41 Diperbarui: 22 April 2024   00:11 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penting komunikasi assertif dalam konseling di sekolah. (Freepik/tirachardz)

Pentingnya Kemampuan Komunikasi dalam Bimbingan Konseling

Dalam dunia pendidikan, khususnya di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), peran guru bimbingan konseling tidak hanya terbatas pada memberikan nasihat atau intervensi terhadap masalah-masalah khusus yang dihadapi siswa, tetapi juga dalam membina sebuah hubungan komunikatif yang efektif dan empatik. Kemampuan komunikasi yang baik adalah fondasi yang memungkinkan konselor sekolah mengidentifikasi dan memahami masalah yang dihadapi oleh siswa, serta memberikan dukungan yang mereka butuhkan untuk mengatasi tantangan tersebut.

Teori Komunikasi Interpersonal yang dikembangkan oleh Carl Rogers, seorang psikolog terkemuka, memberikan pandangan yang mendalam tentang pentingnya kemampuan komunikasi dalam konseling. Rogers menekankan pada konsep "empati" dan "pendengaran aktif" sebagai komponen utama dalam komunikasi efektif. Menurut Rogers, empati dalam konseling bukan hanya sekadar mengerti apa yang dirasakan oleh klien, tetapi juga memposisikan diri konselor seolah-olah berada dalam situasi klien tanpa kehilangan identitas sebagai konselor. Ini membutuhkan sebuah pemahaman mendalam tentang perasaan dan pikiran klien, yang hanya bisa dicapai melalui komunikasi yang terbuka dan tanpa prasangka.

Pendengaran aktif, komponen lain dari teori Rogers, menuntut konselor untuk benar-benar mendengarkan apa yang dikatakan oleh siswa, bukan hanya kata-katanya, tetapi juga menangkap nuansa emosi yang mendasari ucapannya. Hal ini membantu dalam membangun rasa percaya dan menghilangkan kesalahpahaman yang mungkin terjadi dalam komunikasi. Pendengaran aktif juga mencakup memberikan umpan balik yang menunjukkan bahwa konselor telah mengerti dan menghargai apa yang dibagikan oleh siswa.

Kemampuan komunikasi yang efektif juga mencakup keterampilan untuk mengartikulasikan respons yang tepat dan memadai. Konselor harus mampu menggunakan bahasa yang jelas dan sesuai dengan tingkat pemahaman siswa, serta menghindari jargon yang bisa membingungkan atau menyebabkan kesalahpahaman. Selain itu, konselor juga harus memperhatikan non-verbal cues, seperti bahasa tubuh dan kontak mata, yang dapat memengaruhi bagaimana pesan diterima oleh siswa.

Pentingnya kemampuan komunikasi ini juga didukung oleh teori lain dalam psikologi, seperti Teori Komunikasi Berlapis oleh Joseph Luft dan Harry Ingham, yang dikenal dengan model Johari Window. Model ini menggambarkan pentingnya kesadaran diri dalam komunikasi dan bagaimana keterbukaan diri dapat memengaruhi hubungan antara konselor dan siswa. Johari Window menunjukkan bahwa semakin besar keterbukaan seorang konselor tentang dirinya sendiri, semakin besar pula kemungkinan untuk membangun hubungan yang berdasarkan kepercayaan dan pengertian bersama.

Dalam konteks sekolah, di mana siswa sering kali menghadapi tekanan akademis dan sosial, kemampuan guru bimbingan konseling untuk berkomunikasi dengan cara yang mendukung dan memahami adalah kunci untuk membantu mereka mengatasi hambatan tersebut. Hal ini tidak hanya membantu dalam resolusi masalah jangka pendek, tetapi juga dalam pembinaan kemampuan siswa untuk berkomunikasi tentang masalah mereka di masa depan, yang merupakan keterampilan hidup yang berharga.

Dengan demikian, pengembangan kemampuan komunikasi bagi guru bimbingan konseling adalah investasi yang penting dalam meningkatkan efektivitas intervensi pendidikan dan dukungan emosional yang diberikan kepada siswa.

Implementasi Kemampuan Komunikasi dalam Praktik Konseling

Melanjutkan pembahasan tentang pentingnya kemampuan komunikasi dalam bimbingan konseling, kita dapat melihat bagaimana implementasi dari teori-teori tersebut dapat dilakukan dalam praktik konseling di SMA. Salah satu aspek penting yang harus dikuasai oleh guru bimbingan konseling adalah kemampuan untuk mengadaptasi gaya komunikasi mereka untuk mengakomodasi kebutuhan dan karakteristik individu dari setiap siswa.

Mengimplementasikan komunikasi yang efektif dalam konseling memerlukan kepekaan dan adaptabilitas terhadap konteks sosial dan budaya dari siswa. Teori Politeness oleh Penelope Brown dan Stephen Levinson menekankan pentingnya menghormati 'wajah' atau identitas sosial seseorang dalam interaksi. Dalam konteks konseling, ini berarti bahwa konselor harus peka terhadap kebutuhan siswa untuk dihargai dan diakui dalam interaksi mereka, menyesuaikan pendekatan mereka agar tidak terasa mengintimidasi atau menghakimi.

Selain itu, penerapan teknik komunikasi assertif sangat penting dalam praktik bimbingan konseling. Teknik ini mengajarkan bagaimana menyampaikan pikiran dan perasaan secara jelas dan langsung, sambil tetap menghormati pendapat dan perasaan orang lain. Dalam konseling, assertivitas membantu membangun hubungan yang didasarkan pada kejujuran dan saling menghargai, menciptakan lingkungan yang aman bagi siswa untuk mengungkapkan kekhawatiran atau masalah mereka tanpa takut ditolak atau dihakimi.

Penggunaan pertanyaan terbuka juga merupakan bagian krusial dari kemampuan komunikasi yang efektif dalam konseling. Pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memicu lebih banyak diskusi (seperti "Bagaimana perasaan Anda tentang itu?" atau "Apa yang Anda pikirkan ketika itu terjadi?") memungkinkan siswa untuk berbagi lebih banyak tentang pengalaman dan perasaan mereka. Hal ini tidak hanya memberi konselor informasi yang lebih mendalam tentang masalah yang dihadapi siswa, tetapi juga menunjukkan bahwa konselor benar-benar tertarik dengan apa yang mereka katakan.

Mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan tanpa menghakimi juga merupakan aspek kunci dalam komunikasi efektif konselor. Ini terkait dengan konsep "pendengaran aktif" dari Carl Rogers yang telah dibahas sebelumnya. Mendengarkan tanpa menghakimi membantu siswa merasa lebih bebas untuk berbicara dan lebih terbuka tentang masalah mereka, yang pada akhirnya memfasilitasi proses konseling.

Akhirnya, penerapan teknologi dalam komunikasi konseling juga semakin relevan, terutama dalam era digital ini. Penggunaan platform online untuk sesi konseling, serta alat komunikasi seperti surel atau aplikasi pesan, harus dipertimbangkan sebagai sarana untuk menjaga keterlibatan siswa dan memberikan dukungan berkelanjutan. Konselor perlu menguasai alat-alat digital ini dan mengintegrasikan penggunaan teknologi secara etis dan efektif dalam praktik konseling mereka.

Dengan demikian, kemampuan komunikasi yang kuat dan beragam tidak hanya mendukung prinsip-prinsip dasar konseling yang efektif, tetapi juga memperkuat hubungan antara konselor dan siswa, yang merupakan inti dari praktik bimbingan konseling yang sukses. Kemampuan ini, ketika dikombinasikan dengan pendekatan yang berempati dan teknologi yang tepat, dapat meningkatkan signifikan dalam efektivitas bimbingan konseling di SMA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun