Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Keluar dari Jebakan Kekuasaan Menurut Falsafah Jawa

7 Februari 2024   09:09 Diperbarui: 7 Februari 2024   09:13 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi keluar dari jebakan kekuasaan menurut falsafah Jawa. (Freepik/jcomp)

"Tanpo guno wibawaku neng ngarepe manungso nek Gusti ngasorake awakku..." (Tanpa guna kekuasaanku di hadapan manusia jika Tuhan merendahkan aku...)
"Sopo wonge sing adigang adigung adiguno bakal diasorake marang kuasane Gusti pengeran..." 
(Siapapun yang sombong dan menganggap diri hebat dan berkuasa akan direndahkan oleh kekuatan Tuhan Yang Maha Esa...)
"Sopo wonge sing isoh lembah manah lan andap asor bakal antok sihing Gusti pengeran... 
(Siapapun yang bisa merendah dan rendah hati akan mendapatkan kasih sayang dari Tuhan Yang Maha Esa...)

Ketiga pepatah Jawa ini menawarkan pandangan yang mendalam dan komprehensif tentang nilai kerendahan hati dalam konteks kehidupan modern. 

Di era yang sering didominasi oleh pencarian pengakuan dan pencapaian materi, pesan-pesan dalam pepatah ini menjadi pengingat penting akan kekuatan kerendahan hati, penolakan terhadap kesombongan, dan pentingnya memupuk cinta dan kasih karunia dalam interaksi kita sehari-hari. 

Dengan menyelami makna yang disampaikan oleh pepatah ini, kita diajak untuk merenungkan dampak besar dari kerendahan hati, tidak hanya pada dinamika antarpribadi tetapi juga pada upaya kolektif kita dalam bidang kemanusiaan. 

Pendekatan hidup ini, yang berakar pada pemahaman dan penerapan nilai-nilai tradisional dalam konteks modern, menawarkan panduan berharga untuk mencapai kepuasan dan kebahagiaan yang lebih dalam.

1. Pentingnya Kerendahan Hati di Hadapan Tuhan dan Manusia

Dalam kehidupan ini, kita sering terjebak dalam pengejaran kekuasaan, pengakuan, dan pengaruh terhadap orang lain. Namun pepatah Jawa, "Tanpo guno wibawaku neng ngarepe manungso nek Gusti ngasorake awakku...", mengingatkan kita akan batas sebenarnya dari kekuasaan dan pengaruh kita. 

Kekuasaan tanpa kerendahan hati adalah sia-sia, apalagi jika kita kehilangan rasa hormat dan cinta kepada Yang Maha Kuasa. 

Pesan ini mengajak kita untuk selalu mengingat bahwa kekuasaan dan kedudukan yang kita miliki di dunia ini hanya bersifat sementara. 

Kita hendaknya menggunakan pengaruh itu dengan bijaksana dan selalu ingat untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan dan sesama manusia. 

Kerendahan hati bukanlah sebuah indikasi kelemahan, melainkan sebuah potensi yang memperluas sambutan terhadap rahmat, kebijaksanaan, dan perspektif yang lebih komprehensif tentang keberadaan. 

Menyadari keterbatasan yang kita miliki dan mau menerima pengetahuan serta pendewasaan, baik dalam arti spiritual maupun etika, adalah inti dari menjalani kehidupan yang bermakna dan selaras dengan alam semesta.

2. Bahaya Keangkuhan dan Kesombongan

Pepatah "Sopo wonge sing adigang adigung adiguno bakal diasorake marang kuasane Gusti pengeran..." membuka mata kita akan bahaya keangkuhan dan kesombongan. 

Hal ini mengingatkan kita bahwa terlepas dari status kita yang tinggi atau tingkat otoritas kita, kita sepenuhnya tunduk pada otoritas yang lebih tinggi, khususnya entitas ilahi yang dikenal sebagai Tuhan. 

Keangkuhan  dan kesombongan dapat menjauhkan kita dari kebenaran ini, sehingga menyebabkan kita terjerumus ke dalam kehancuran moral dan rohani. 

Pesan ini bukan bermaksud menakut-nakuti, melainkan mengajak kita untuk introspeksi dan memahami bahwa kekuatan sejati datang dari kemampuan merendahkan diri dan mengakui kebesaran Tuhan.

Di dunia yang semakin mementingkan pencapaian pribadi dan pengakuan sosial, kita mudah tersesat dalam narasi kesuksesan yang hanya diukur dari jenjang karier, kekayaan, dan kekuasaan. 

Namun, pepatah ini memberi kita pelajaran berharga bahwa kemakmuran sejati tidak bergantung pada ketinggian yang kita capai, melainkan pada kemampuan kita untuk merendahkan diri secara mendalam dan menciptakan ruang bagi kehadiran ilahi Tuhan dalam keberadaan kita. 

Dengan cara ini, kita tidak hanya mencapai keseimbangan dalam dunia spiritual dan emosional, namun juga membangun hubungan yang lebih tulus dan terarah dengan orang-orang di sekitar kita.

3. Kekuatan Kerendahan Hati dan Kesiapan Menerima Cinta

Pepatah "Sopo wonge sing isoh lembah manah lan andap asor bakal antok sihing Gusti pengeran..." memberikan pandangan menyegarkan bagaimana kerendahan hati dapat membuka pintu penerimaan kasih dan rahmat Tuhan. 

Dalam masyarakat yang sering mengukur kesuksesan dengan pencapaian yang terlihat, pesan ini mengajak kita untuk mengevaluasi kembali apa yang benar-benar berharga dalam hidup. 

Kerendahan hati, ketulusan, dan kemampuan untuk merendahkan diri bukan semata-mata merupakan ciri-ciri yang meningkatkan rasa kemanusiaan kita, namun juga merupakan elemen mendasar untuk membangun ikatan yang lebih mendalam dengan kekuatan yang lebih unggul dari diri kita sendiri.

Dalam penerapan praktisnya, keutamaan kerendahan hati memungkinkan kita memandang dunia dari sudut pandang yang lebih komprehensif, dengan mengakui bahwa setiap individu memiliki peran dan kontribusi yang berbeda. 

Hal ini tidak berarti meniadakan kekuatan atau kemampuan kita sendiri, melainkan menggunakannya secara bertanggung jawab dan dengan tujuan yang melampaui kepentingan pribadi. 

Dengan cara ini, kerendahan hati berfungsi sebagai landasan tidak hanya bagi perkembangan spiritual, namun juga bagi bimbingan etis dan pengambilan keputusan yang bijaksana.

***

Mengambil hikmah dari ketiga pepatah Jawa tersebut, kita diingatkan akan kekuatan dan pentingnya kerendahan hati di era saat ini. 

Kita ditantang untuk menolak dorongan terhadap kesombongan dan persetujuan eksternal, dan memilih untuk memupuk nilai-nilai yang memperkaya kehidupan kita dan komunitas kita. 

Dengan menjadikan kerendahan hati sebagai landasan mendasar dalam kehidupan kita sehari-hari, kita tidak hanya memperoleh rasa kepuasan dan kepuasan yang lebih mendalam, namun juga berperan dalam pembentukan masyarakat global yang lebih baik. 

Melalui wacana ini, kita dapat memastikan bahwa kemenangan kita tidak hanya dinilai berdasarkan pencapaian diri kita, namun juga berdasarkan cara kita memengaruhi kehidupan orang lain dan memberikan kontribusi berharga bagi kesejahteraan secara keseluruhan. 

Marilah kita membawa pesan ini sebagai panduan dalam hidup kita, mengingat bahwa dalam kerendahan hati terdapat kekuatan sejati dan keindahan hidup yang sesungguhnya. 

Semoga Tuhan selalu memberi kita kekuatan untuk menjalaninya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun