Hukum adalah Permainan: Membun*h atau Menindas
Ketika akan menentukan siapa yang berhak lebih awal dalam suatu permainan biasanya dilakukan cara "sut/suten/pingsut". Sut yang lazim di Indonesia adalah menggunakan tiga jari: jempol sebagai Gajah, telunjuk sebagai Manusia dan kelingking sebagai Semut.
Ada tiga aturan permainan sut yang tidak boleh dibantah: semut menang melawan gajah, manusia menang melawan semut, gajah menang melawan manusia. Jika kemudian ada yang berusaha mengubah aturan permainan seperti:
1. Semut bisa menang melawan manusia dengan asumsi "gajah kalah oleh semut karena semut bisa masuk telinga gajah" maka berlaku pula "semut pun bisa masuk ke telinga manusia"
2. Gajah bisa menang melawan semut dengan asumsi "gajah menang karena bisa menginjak manusia" maka berlaku pula "gajah pun bisa menginjak semut"
3. Manusia bisa menang melawan gajah dengan asumsi "manusia menang karena bisa mengakali semut" maka berlaku pula "manusia pun bisa mengakali gajah"
Jelas permainan menjadi kacau.
Batu dan tangan terbuka sebagai Kertas.
Selain sut tiga jari, terdapat sut model kedua yaitu menggunakan tiga isyarat tangan: jari telunjuk dan tengah sebagai Gunting, tangan mengepal sebagaiAturan permainannya adalah batu mengalahkan gunting, gunting mengalahkan kertas, dan kertas mengalahkan batu. Seperti sut model pertama, model kedua juga ada yang mencoba mempersoalkan aturan permainan.
Sut model pertama berkonsep untuk mengalahkan lawan adalah dengan cara saling membun*h, tentunya dengan "tangan kosong". Berbeda dengan sut model kedua, konsep yang digunakan adalah saling menindas.
Memang dalam suatu permainan yang dicari adalah siapa yang menang dan siapa yang kalah. Walaupun sut model kedua terlihat lebih humanis, tetap saja bermakna siapa yang lebih superior.
Jika aturan permainan dianalogikan sebagai hukum yang harus ditegakkan, lalu mengapa berbalik menjadi hukum adalah permainan?
Hukum bukan masalah siapa yang terkuat atau siapa yang lebih mampu bersiasat. Hukum semestinya adalah masalah mengembalikan keseimbangan keadilan antara pihak yang bersengketa.
Pertanyaan berikutnya, apakah benar belajar hukum itu belajar mencari kelemahannya lalu melemahkannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H