Jangan terlalu berpaku pada peribahasa "Ada gula ada semut".Â
Lalu berpaham bahwa "Ada gula pasti ada semut".Â
Kita lihat dulu masalahnya:
apakah gulanya ada di dalam wadah tertutup atau tidak? atau, gulanya sengaja diletakkan di depan semut? atau, semutnya sengaja diletakkan di depan gula? atau gula dan semutnya sengaja diletakkan di dalam satu wadah tertutup?Â
Jangan-jangan kita sedang terkena semacam "disleksia" karena "hallo effect", sehingga terbaca sebagai "Ada semut ada gula", atau "Semut ada gula ada", atau "Gula ada semut ada".Â
Berpaham bahwa di sekitar gula pasti ada semut itu sangat berbahaya.
***
Mari kita renungkan pemikiran tersebut di atas.
Refleksi filosofis ini mengeksplorasi konsep persepsi, realitas, dan implikasi asumsi dalam memahami dunia. Pepatah "Ada gula, ada semut" seringkali diartikan menggambarkan hubungan sebab akibat yang sederhana: kehadiran suatu fenomena (gula) otomatis mengundang kehadiran fenomena lain (semut). Namun refleksi ini mengajak kita untuk mempertanyakan dan menggali lebih dalam konteks dan kondisi yang mendukung atau menolak asumsi tersebut.
Filsuf kontemporer, yaitu Daniel Kahneman dan Amos Tversky (1974) dalam bukunya "Thinking Fast and Slow", menjelaskan dampak bias kognitif terhadap persepsi kita tentang kausalitas, seperti yang dicontohkan oleh "efek halo" dalam analisis ini. Dalam konteks "Ada gula dan ada semut", seseorang mungkin terlalu cepat mengambil kesimpulan tanpa mempertimbangkan variabel lain yang berperan. Misalnya, keberadaan gula dalam wadah tertutup tidak akan menarik perhatian semut, namun jika anggapan ini diabaikan, orang mungkin masih percaya akan munculnya semut.
Di sisi lain, filsuf seperti Ludwig Wittgenstein (1953) dalam karyanya "Philosophical Investigations" menekankan pentingnya konteks dalam memahami bahasa dan makna. Dalam konteks refleksi ini, kata "Ada gula dan ada semut" dapat mempunyai penafsiran yang berbeda-beda tergantung konteksnya. Wittgenstein mengusulkan untuk mengkaji cara penggunaan kata-kata ini dalam kehidupan rutin untuk memahami makna sebenarnya dari kata-kata tersebut.
Selain itu, pemikir eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Friedrich Nietzsche mungkin menggarisbawahi pentingnya kebebasan pribadi ketika menafsirkan dan menganggap penting suatu fenomena. Mereka akan menekankan bahwa tidak ada interpretasi yang benar atau salah, namun perspektif seseorang sebagai pengamat menentukan validitasnya. Dalam kerangka pepatah ini, seseorang mempunyai kebebasan untuk menafsirkan hubungan antara gula dan semut, dan penafsiran tersebut akan dipengaruhi oleh perjumpaan pribadi dan lingkungan sosialnya.
Oleh karena itu, introspeksi ini tidak semata-mata berkaitan dengan kebenaran atau kepalsuan kata-kata mutiara, melainkan pemahaman dan penjelasan komprehensif kita terhadap lingkungan sekitar. Hal ini mengajak kita tidak hanya menerima asumsi begitu saja, namun juga mempertanyakan dan mendalami berbagai faktor yang mungkin memengaruhi kenyataan yang kita alami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI