Bayangkan jika hanya dibolehkan "top speed" sekitar 60 km/jam (batas nyaman kecepatan berkendara) dengan situasi dan kondisi jalan serta arus lalu lintas yang ada, tentu saja penumpang akan "berlama-lama" di jalan.
Sebenarnya kecepatan di atas 60 km/jam itu hanya dilakukan ketika arus lalu lintas sepi atau ketika sedang menyalip kendaraan lain semisal truk tangki yang hanya boleh maksimum 60 km/jam.
Kebiasaan kita yang terkadang "memaki-maki" pak sopir bus karena melebihi batas kecepatan, seharusnya disertai "bukti empiris" terlebih dahulu.Â
Apakah adil "men-judge" pak sopir berbuat "ugal-ugalan", padahal waktu tempuh tak secepat yang kita harapkan ketika kita berada di dalamnya?
Memang sih, ada pak sopir yang ugal-ugalan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H