Airmata takkan mampu membelokkan angin,
Biarlah ia berhembus, takdir yang tak terjinakkan.
Di tanah yang kokoh, kau berpijak dengan keyakinan,
Menyaksikan, airmata jadi mutiara pelipur lara.
Kala api menyala, panas memeluk erat,
Tak menghanguskan, melainkan hangat yang meredam.
Seperti pelukan ibu, atau cahaya mentari di senja,
Api itu, kini kehangatan, penjaga di malam sepi.
Dalam diam, kau belajar, airmata bukan akhir,
Ia pembuka jalan bagi hati yang pernah terluka.
Bagaikan embun pagi, menyegarkan jiwa yang gersang,
Menyadarkan, bahwasanya setiap kesedihan, punya akhirnya.
Dan di tanah yang kokoh ini, kau menemukan diri,
Diantara airmata dan api, kau temukan ketenangan.
Layaknya pelaut di tengah lautan, mengarungi badai,
Kau sadari, bahwa segalanya, akan menjadi indah pada waktunya.
Malang, 17 Januari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H