Di sebuah sudut negeri yang penuh warna, 'seorang' tikus berjas hitam, dengan topi yang melengkapi penampilannya sebagai penguasa kebijakan pendidikan, mengangkat cangkir kopi yang masih mengepul.Â
Dia duduk berhadapan dengan seorang pria tua yang kumuh, penampilannya mencerminkan kelelahan dan kebingungan yang tak terbilang. Sang pria meneguk kopi dari cangkir yang retak, simbol ketahanan di tengah kekurangan.
"Kami telah menggulirkan kurikulum baru," ujar si tikus dengan bangga, seraya memamerkan gigi-gigi tajamnya yang selama ini gemar menggigit dokumen kebijakan. "Kurikulum yang akan memastikan pemuda kita siap untuk masa depan!"
Sang pria, dengan senyum yang suram, menjawab, "Ah, kurikulum baru? Yang keberapa kalinya ini, saudaraku? Anak-anak kami sudah pusing dengan semua perubahan yang kalian sajikan setiap beberapa tahun sekali."
Cerita ini menggambarkan bagaimana perubahan kurikulum yang sering dan tidak konsisten bisa dirasakan oleh rakyat sebagai sebuah lingkaran setan yang tidak ada habisnya.Â
Tikus berdasi, mungkin dengan niat baik, ingin menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik, tetapi sering kali keputusan yang dibuat terasa asing dan tidak praktis bagi mereka yang terdampak langsung.
"Sistem baru ini dirancang dengan pertimbangan yang matang," lanjut si tikus, mencoba meyakinkan. "Kami telah menghabiskan banyak waktu di rapat-rapat untuk menyiapkannya."
Sang pria, dengan nada yang mencoba sabar, bertanya, "Tapi apakah kalian telah menghabiskan waktu di kelas? Atau berbicara dengan guru-guru yang akan mengimplementasikannya, atau dengan kami, para orang tua, yang mengharapkan yang terbaik untuk anak-anak kami?"
Pertanyaan ini adalah sindiran bagi para pembuat kebijakan yang terkadang terputus dari realitas lapangan.Â
Mereka yang berpakaian rapi dan duduk di meja-meja rapat mungkin tidak menyadari kebingungan dan frustrasi yang dirasakan oleh guru-guru dan siswa yang harus menyesuaikan diri dengan setiap perubahan kurikulum yang datang.