Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membuka Pintu Diri: Interkonektivitas, Keterbukaan dan Tanggung Jawab

5 Desember 2023   10:30 Diperbarui: 5 Desember 2023   10:36 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalanan dibuat bertujuan untuk menghubungkan satu checkpoint ke checkpoint berikutnya, demikian juga dengan hidup kita; kita adalah checkpoint bagi orang lain yang akan melintas, lalu mengapa kita harus menutup diri?

Interkonektivitas dan Kehadiran Eksistensial

Mengibaratkan kehidupan sebagai jalan yang menghubungkan satu checkpoint ke checkpoint lainnya membawa kita pada pemikiran filosofis tentang sifat keberadaan kita yang terhubung. 

Dalam konteks ini, setiap orang yang kita temui di perjalanan kita bukan hanya sekadar pelintas; mereka adalah cerminan dari diri kita sendiri dalam kontinum kehidupan yang lebih besar. 

Ini mengingatkan kita pada konsep filosofis tentang interkonektivitas – gagasan bahwa keberadaan dan pengalaman kita tidak terpisah, tetapi saling terkait dan saling memengaruhi.

Dalam perspektif ini, menutup diri dari orang lain bukan hanya kerugian bagi diri sendiri, tetapi juga sebuah penolakan terhadap kekayaan hubungan manusia. 

Filsuf seperti Martin Heidegger menekankan pentingnya "Dasein", atau "ada di dunia", yang menekankan bahwa keberadaan kita tidak terisolasi tetapi terbenam dalam hubungan dengan orang lain. 

Menutup diri, dalam konteks ini, bisa dilihat sebagai penyangkalan dari keberadaan autentik kita.

Lebih lanjut, renungan ini membawa kita pada pemikiran tentang bagaimana kita, sebagai bagian dari jaringan sosial yang lebih luas, memengaruhi dan dipengaruhi oleh orang lain. 

Ini membawa kita pada ide eksistensialis bahwa kita adalah arsitek dari realitas kita sendiri, tetapi pada saat yang sama, kita juga memengaruhi realitas orang lain. 

Keterbukaan di sini tidak hanya berarti terbuka terhadap pengalaman baru, tetapi juga berarti terbuka terhadap kemungkinan bahwa setiap interaksi kita adalah kontribusi signifikan terhadap narasi kehidupan bersama.

Keterbukaan dan Etika Relasional

Memahami kehidupan sebagai serangkaian checkpoint menuntut kita untuk memandang diri kita tidak hanya sebagai pelintas, tetapi juga sebagai bagian integral dari perjalanan orang lain. 

Dalam konteks filosofis, ini mengingatkan kita pada konsep interkonektivitas – gagasan bahwa keberadaan kita tidak terisolasi, melainkan terjalin dalam jaringan hubungan yang luas. Setiap interaksi, tidak peduli seberapa kecil, berpotensi memengaruhi jalur hidup seseorang.

Keterbukaan dalam konteks ini bukan sekadar soal interaksi sosial, tetapi juga tentang kesediaan untuk menjadi bagian dari perjalanan orang lain. 

Ini bukan hanya tentang berbagi ruang dan waktu, tetapi juga tentang berbagi pengalaman, pengetahuan, dan empati. Saat kita menutup diri, kita tidak hanya menghalangi pertumbuhan pribadi kita sendiri, tetapi juga mengurangi kemungkinan untuk memberikan dampak positif pada perjalanan orang lain.

Namun, keterbukaan membutuhkan keberanian untuk menghadapi ketidakpastian. Ini mengingatkan kita pada gagasan filosofis tentang "Yang Lain" yang dikemukakan oleh Emmanuel Levinas. 

Bertemu dengan "Yang Lain" berarti mengakui dan menerima keunikan setiap individu yang kita temui, yang sering kali berbeda dan bahkan bisa bertentangan dengan pandangan dan pengalaman kita sendiri. 

Ini adalah tantangan untuk mengembangkan pemahaman dan toleransi, untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda.

Dalam konteks filosofis, renungan ini membawa kita pada pertanyaan mendasar tentang esensi keberadaan kita: Apakah kita hanya entitas yang bergerak dari satu point ke point lain, atau apakah kita bagian integral dari jaringan yang lebih luas, di mana setiap interaksi membentuk dan dibentuk oleh orang lain?

Keberanian dan Tanggung Jawab Eksistensial

Memasuki bagian akhir dari renungan ini, kita diajak untuk merenung lebih dalam tentang konsekuensi dari interaksi kita dengan orang lain. 

Dalam konteks filosofis, ini berkaitan dengan konsep tanggung jawab dan kebebasan. Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis, menekankan bahwa dengan kebebasan datang tanggung jawab – tanggung jawab untuk pilihan dan aksi kita, yang tidak hanya memengaruhi diri kita sendiri tetapi juga orang lain.

Dalam konteks kehidupan sebagai serangkaian checkpoint, setiap pertemuan dengan orang lain adalah sebuah momen keputusan, di mana kita memiliki kebebasan untuk memilih bagaimana berinteraksi dan memengaruhi mereka. 

Sartre mengatakan bahwa kita "terkutuk untuk bebas", yang berarti bahwa kita tidak dapat melarikan diri dari kebebasan memilih dan tanggung jawab atas pilihan tersebut. 

Dengan mengakui hal ini, kita menjadi lebih sadar tentang bagaimana tindakan kita memengaruhi perjalanan hidup orang lain.

Keterbukaan terhadap orang lain, dalam konteks ini, adalah tindakan etis. Ini adalah pengakuan akan kemanusiaan bersama kita dan tanggung jawab yang kita bagikan terhadap satu sama lain. 

Martin Buber, dalam filosofinya tentang hubungan "Aku dan Engkau", menekankan pentingnya bertemu dengan orang lain sebagai subjek, bukan objek, menciptakan hubungan yang autentik dan saling menghormati.

***

Renungan ini membawa kita pada pertanyaan eksistensial tentang arti "hadir" dalam kehidupan. Tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga secara emosional dan spiritual. 

Menjadi checkpoint bagi orang lain berarti menjadi bagian aktif dalam jaringan kehidupan yang saling terkait, di mana kita saling memberi dan menerima, saling memengaruhi dan dipengaruhi. 

Ini adalah undangan untuk hidup dengan kesadaran penuh, mengakui pentingnya setiap interaksi dan tanggung jawab kita dalam membangun dunia yang lebih terkoneksi dan penuh empati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun