Jalanan dibuat bertujuan untuk menghubungkan satu checkpoint ke checkpoint berikutnya, demikian juga dengan hidup kita; kita adalah checkpoint bagi orang lain yang akan melintas, lalu mengapa kita harus menutup diri?
Interkonektivitas dan Kehadiran Eksistensial
Mengibaratkan kehidupan sebagai jalan yang menghubungkan satu checkpoint ke checkpoint lainnya membawa kita pada pemikiran filosofis tentang sifat keberadaan kita yang terhubung.Â
Dalam konteks ini, setiap orang yang kita temui di perjalanan kita bukan hanya sekadar pelintas; mereka adalah cerminan dari diri kita sendiri dalam kontinum kehidupan yang lebih besar.Â
Ini mengingatkan kita pada konsep filosofis tentang interkonektivitas – gagasan bahwa keberadaan dan pengalaman kita tidak terpisah, tetapi saling terkait dan saling memengaruhi.
Dalam perspektif ini, menutup diri dari orang lain bukan hanya kerugian bagi diri sendiri, tetapi juga sebuah penolakan terhadap kekayaan hubungan manusia.Â
Filsuf seperti Martin Heidegger menekankan pentingnya "Dasein", atau "ada di dunia", yang menekankan bahwa keberadaan kita tidak terisolasi tetapi terbenam dalam hubungan dengan orang lain.Â
Menutup diri, dalam konteks ini, bisa dilihat sebagai penyangkalan dari keberadaan autentik kita.
Lebih lanjut, renungan ini membawa kita pada pemikiran tentang bagaimana kita, sebagai bagian dari jaringan sosial yang lebih luas, memengaruhi dan dipengaruhi oleh orang lain.Â
Ini membawa kita pada ide eksistensialis bahwa kita adalah arsitek dari realitas kita sendiri, tetapi pada saat yang sama, kita juga memengaruhi realitas orang lain.Â
Keterbukaan di sini tidak hanya berarti terbuka terhadap pengalaman baru, tetapi juga berarti terbuka terhadap kemungkinan bahwa setiap interaksi kita adalah kontribusi signifikan terhadap narasi kehidupan bersama.