Sepanjang sejarah panjang manusia, kita selalu dihadapkan pada berbagai norma, peraturan tak tertulis, dan harapan sosial yang mengatur hampir setiap aspek kehidupan kita. Di antara banyak aspek yang menarik dan seringkali membingungkan adalah bagaimana kita, sebagai individu, menyatakan penghargaan terhadap kecantikan dan daya tarik fisik satu sama lain. Secara khusus, mengapa wanita cenderung lebih terbuka dalam menyatakan bahwa wanita lain cantik, sementara pria jarang mengakui bahwa pria lain tampan.
Mengapa fenomena ini terjadi? Apakah ini akibat dari konstruksi sosial yang tertanam atau sesuatu yang lebih mendasar dan psikologis? Mari kita lebih mendalam dalam eksplorasi ini.
Dari sudut pandang sosial dan budaya, kita dibesarkan dalam masyarakat yang mengharapkan kita berperilaku sesuai dengan pedoman tak tertulis. Dalam banyak budaya, wanita secara tradisional dianggap lebih ekspresif dalam hal emosi dan pujian. Hal ini mungkin karena sejak usia dini, anak perempuan diajarkan untuk menghargai dan mengungkapkan keindahan lebih.Â
Baik itu dalam bentuk pujian untuk boneka, pakaian, atau bahkan teman mereka. Di sisi lain, anak laki-laki sering dibesarkan dengan norma yang berbeda. Menunjukkan pengaguman terhadap ketampanan sesama pria bisa dianggap sebagai hal tabu, tantangan terhadap citra 'maskulinitas' yang mereka anut.
Jadi, bagaimana konsep maskulinitas dan femininitas memengaruhi cara kita menyatakan penghargaan? Maskulinitas sering dikaitkan dengan kekuatan dan kemandirian, sementara femininitas lebih terkait dengan kelembutan dan empati. Oleh karena itu, pria mungkin merasa bahwa mengakui ketampanan pria lain secara tidak langsung melemahkan posisi mereka sebagai 'pria sejati.' Wanita, di sisi lain, didorong oleh norma femininitas untuk lebih terbuka dan ekspresif, termasuk dalam menyatakan penghargaan terhadap kecantikan sesama wanita.
Kita tidak bisa mengabaikan peran persaingan dan rasa cemburu dalam dinamika ini. Pria sering bersaing dalam hal status dan kekuasaan. Dalam konteks ini, mengakui ketampanan sesama pria bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap 'keunggulan' yang dirasakan oleh orang lain. Sebaliknya, wanita sering bersaing dalam hal penampilan, tetapi persaingan mereka mungkin lebih halus dan tidak langsung. Dalam banyak kasus, memberikan pujian kepada wanita lain bisa menjadi cara untuk membangun hubungan sosial atau bahkan mengurangi ancaman yang dirasakan.
Kita juga tidak bisa mengabaikan pengaruh media dan persepsi masyarakat. Media sering menguatkan stereotip gender ini dengan menggambarkan wanita sebagai objek estetika dan pria sebagai figur dominan. Hal ini menanamkan ide bahwa wanita harus dihargai karena kecantikannya, sementara pria harus dihormati karena kekuatannya.
Namun, ada aspek psikologis lain yang mungkin berperan di sini. Wanita diketahui mengembangkan keterampilan komunikasi dan empati lebih cepat daripada pria. Hal ini mungkin membuat mereka lebih nyaman dalam menyatakan pujian, termasuk tentang penampilan.
Penting untuk diingat bahwa ini semua adalah generalisasi. Tidak semua wanita nyaman memuji kecantikan orang lain, dan tidak semua pria merasa terhalang untuk mengakui ketampanan pria lain. Setiap individu unik, dan cara kita mengungkapkan diri sering kali lebih kompleks daripada yang dapat dijelaskan oleh norma sosial atau konstruksi gender.
Seiring perkembangan masyarakat, kita mulai melihat perubahan dalam cara pria dan wanita berinteraksi dan menyatakan diri. Norma sosial yang kaku mulai melunak. Semakin banyak pria yang merasa nyaman dalam memberikan pujian kepada sesama pria, dan wanita terus menemukan cara-cara baru untuk menyatakan diri mereka yang tidak terbatas pada konstruksi femininitas tradisional.
Apa yang kita lihat sekarang adalah pergeseran dalam dinamika sosial dan psikologis. Ini adalah era di mana kekuatan individualitas dan ekspresi diri semakin penting. Mungkin suatu hari, norma-norma yang pernah kita anggap sebagai kebenaran mutlak akan menjadi kenangan dari masa lalu.
Mengakui keindahan pada orang lain, tanpa memandang gender, adalah salah satu cara bagi kita untuk membangun koneksi yang lebih dalam sebagai manusia. Mungkin, di masa depan, kita akan lebih bebas untuk menyatakan penghargaan kita, tanpa terbatas oleh tembok tak terlihat dari norma sosial.
Sampai saat itu tiba, kita dapat terus merenung dan mengeksplorasi cara-cara baru untuk berinteraksi dan memahami satu sama lain. Dalam prosesnya, kita mungkin menemukan lebih banyak tentang diri kita sendiri, tentang bagaimana kita melihat dunia, dan tentang bagaimana kita ingin dunia melihat kita. Pada akhirnya, bagaimana kita memilih untuk menyatakan diri dan mengakui orang lain adalah cerminan dari siapa kita sebagai individu dan sebagai masyarakat yang terus berkembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H