Sebelum saya menulis pendapat ini, saya mencoba mencari artikel di Kompasiana untuk melihat apakah topik "sapu tangan" sudah pernah dibahas. Saya menemukan banyak artikel tentang topik "sapu tangan" dari berbagai kategori, dengan sebagian besar berasal dari kategori puisi dan cerpen.Â
Namun, hanya ada dua artikel yang membahas sapu tangan dalam konteks keberlanjutan, yang sesuai dengan niat saya. Mereka adalah artikel Benito Sinaga dari tanggal 2 Mei 2012 berjudul "Mengapa Pria Harus Memiliki Sapu Tangan?" (tidak tersedia) dan artikel Trianaa Juliantii dari tanggal 28 Agustus 2023 berjudul "[PMM UMM 2023] Menggali Kreativitas dan Pendidikan Lingkungan Melalui Pembuatan Sapu Tangan Ramah Lingkungan."Â
Sudah puluhan tahun saya menggunakan sapu tangan dan sudah puluhan tahun, tiga sapu tangan yang saya miliki saat ini menyertai perjalanan hidup sehari-hari saya. Berikut adalah ulasan saya.
Di dunia yang terus berkembang, di mana kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup mendorong peningkatan konsumsi, kita seringkali mengabaikan dampak lingkungan dari pilihan-pilihan sehari-hari kita.Â
Salah satu contoh yang paling mencolok adalah penggunaan kertas tisu yang luas, sebuah praktik yang tampaknya sederhana namun memiliki dampak lingkungan yang signifikan. Melalui eksplorasi topik ini, saya bertujuan untuk menawarkan sudut pandang yang memberikan wawasan dan mendorong refleksi atas pilihan-pilihan kita.
Di Indonesia, gaya hidup modern telah menyebabkan peningkatan dramatis dalam penggunaan kertas dan tisu. Menurut sebuah artikel dari Suara Surabaya (29/03/2014), permintaan nasional akan kertas mencapai angka yang mengagumkan - sekitar 5,6 juta ton per tahun.Â
Akibatnya, permintaan kayu sebagai bahan baku meningkat, menimbulkan tekanan pada hutan-hutan kita. Bayangkan, untuk memproduksi hanya satu rim kertas, dibutuhkan satu pohon berumur lima tahun. Untuk dua pak tisu, diperlukan pohon yang berumur enam tahun.Â
Ironisnya, meskipun produksi dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan ini, kita masih melihat pemborosan dalam penggunaan kertas dan tisu.Â
Limbah yang dihasilkan dari proses produksi ini tidak hanya besar dalam jumlah, tetapi juga dalam kualitasnya, meningkatkan beban pada sistem pengelolaan limbah kita dan berkontribusi pada perubahan iklim global.
Di sisi lain, sebuah artikel dari Zero Waste Indonesia memberikan pandangan yang serupa tentang prevalensi tisu dalam kehidupan sehari-hari kita. Tisu, sebagai produk sekali pakai, tidak hanya berdampak pada pengurangan hutan, tetapi juga pada peningkatan jumlah sampah yang dihasilkan.Â
Dengan setiap pohon yang ditebang, kita kehilangan bagian penting dari ekosistem kita, yang berperan dalam mengurangi erosi, menyediakan habitat bagi satwa liar, dan menjaga kualitas udara.Â
Menurut WWF, secara global, sekitar 270.000 pohon ditebang setiap hari untuk memproduksi tisu. Di Indonesia sendiri, sampah tisu mencapai angka yang mengkhawatirkan - 25 ribu ton.
Namun, ada harapan. Alternatif seperti sapu tangan menawarkan solusi yang lebih ramah lingkungan. Menurut artikel dari Teorimu.com (12/072023), mengganti tisu dengan sapu tangan bisa mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan dan meminimalkan dampak lingkungan dari produksi tisu.Â
Penggunaan sapu tangan juga lebih ekonomis dalam jangka panjang dan, dengan perawatan yang tepat, dapat menjadi pilihan yang lebih higienis. Kita dapat mengambil langkah-langkah kecil namun signifikan untuk mengurangi jejak karbon kita dengan beralih ke sapu tangan, tindakan yang selaras dengan gaya hidup berkelanjutan.
Merdeka.com (2016). Dalam konteks kesehatan, terutama ketika seseorang mengalami pilek atau flu, tisu dapat lebih higienis karena dapat dibuang langsung setelah digunakan, mengurangi penyebaran kuman dan virus.Â
Namun, ada argumen yang mendukung penggunaan tisu dalam situasi tertentu, seperti yang diungkapkan dalam artikel dariNamun, bahkan dalam situasi ini, penting untuk mempertimbangkan dampak lingkungan dari tindakan kita dan mencari cara untuk mengurangi limbah, seperti dengan membuang tisu dengan benar atau mencuci tangan setelah menggunakan sapu tangan.
Dari sudut pandang ini, kita perlu untuk mempertimbangkan kembali kebiasaan kita dan mendorong perubahan perilaku yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. Setiap pilihan yang kita buat memiliki dampak, dan dengan memilih alternatif yang lebih ramah lingkungan, kita bisa membuat perbedaan.Â
Tindakan kita mungkin terlihat kecil, tetapi seperti tetesan air yang terus menetes dapat mengikis batu, demikian pula tindakan berkelanjutan kita dapat membawa perubahan yang signifikan. Setiap lembar tisu yang tidak kita gunakan, setiap pohon yang tidak perlu kita tebang, berkontribusi pada kesehatan planet kita.
Kita perlu membawa perubahan ini ke dalam rumah, tempat kerja, dan komunitas kita. Mengadopsi sapu tangan bukan hanya tindakan simbolis, melainkan langkah konkret menuju keberlanjutan. Dengan memilih bahan yang dapat dicuci dan digunakan kembali, kita mengurangi limbah dan mendukung ekonomi sirkular.
Ketika kita memilih sapu tangan, kita tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga mengambil langkah kecil namun penting untuk melindungi hutan kita, mengurangi limbah, dan melawan perubahan iklim. Ini adalah pilihan yang mencerminkan kepedulian kita terhadap lingkungan dan komitmen kita untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.
Kita harus menjadi pelopor perubahan ini. Mari kita membuka mata kita terhadap dampak pilihan kita dan bertindak dengan keberanian untuk mengubah kebiasaan kita. Inilah saatnya untuk kembali kepada praktik yang lebih sederhana namun efektif. Inilah saatnya untuk memilih sapu tangan, sebuah simbol kecil dari tanggung jawab kita terhadap Bumi.Â
Mari kita membuat pilihan yang lebih baik untuk planet kita, untuk generasi masa depan, dan untuk diri kita sendiri. Sediakan selalu sapu tangan di saku celana kita mulai sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H