Ketika memperingati Hari Wayang Nasional yang jatuh pada hari ini tanggal 7 November 2023, renungan yang mendalam sangat layak untuk kita pertimbangkan bersama, terutama mengenai substansi dan relevansi wayang kulit dalam kehidupan kontemporer. Ulasan atas artikel ilmiah Aris Setiawan tahun 2022 yang dipublikasikan dalam jurnal "Mudra" menawarkan perspektif analitis sekaligus membangkitkan harapan untuk regenerasi dan pelestarian tradisi Wayang, khususnya di tangan para dalang muda di Surakarta dan sekitarnya.
Kita memahami bahwa wayang kulit bukan sekadar hiburan; ia adalah pembawa filosofi yang mendalam, sebuah khazanah budaya yang mencerminkan diri dan masyarakat. Makalah yang ditulis oleh Setiawan, berjudul "Shadow Puppets In The Hands Of The Young Puppeteers: Loss Of Philosophy Value," menyoroti fenomena ironis: di saat wayang kulit diharapkan menjadi medium untuk mentransfer nilai dan filosofi kepada generasi muda, nyatanya terjadi pengikisan nilai-nilai tersebut di tangan para dalang muda yang seharusnya menjadi pewaris dan penjaga tradisi ini.
Renungan reflektif atas makalah ini mendorong kita untuk bertanya, apa yang terjadi pada nilai-nilai filosofis yang seharusnya menjadi jiwa dari wayang kulit? Mengapa para dalang muda cenderung menunjukkan perilaku yang arogan dan menyimpang dari tradisi di atas panggung? Ini bukan hanya pertanyaan tentang estetika atau budaya semata, tapi juga bagaimana kita, sebagai bangsa, berdialog dengan masa lalu untuk menciptakan masa depan yang berakar pada kebijaksanaan yang telah teruji waktu.
Menariknya, makalah ini tidak hanya menyoroti kesenjangan yang ada tetapi juga menawarkan solusi untuk aktualisasi nilai-nilai ini dalam konteks kontemporer. Ini adalah mercusuar harapan baru untuk pelestarian budaya wayang kulit, di mana bentuk seni ini tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang harus 'dilindungi' dari 'kepunahan', tetapi sebagai bentuk yang hidup, bernapas, dan berkembang sesuai dengan zamannya.
Penelitian Setiawan, melalui pengamatan dan wawancara, menunjukkan bahwa para dalang muda memiliki potensi untuk menjadi komunikator massa yang efektif jika mereka dapat menyampaikan pesan melalui pertunjukan mereka. Ini adalah ilustrasi yang penuh harapan bahwa wayang kulit, dalam berbagai bentuknya yang diakui UNESCO sebagai Warisan Dunia, tetap relevan dan dapat beradaptasi dengan kebutuhan komunikasi saat ini.
Namun, temuan yang menunjukkan kecenderungan di antara para dalang muda untuk lebih menyukai hiburan yang glamor, memengaruhi penampilan mereka, memberi kita pelajaran penting. Ini menunjukkan bahwa tantangan dalam mengadaptasi dan mengembangkan seni tradisional bukan hanya tentang melestarikannya dari kepunahan tetapi tentang mengintegrasikan nilai-nilai kuno ke dalam format baru yang lebih menarik untuk generasi yang berbeda.
Pendidikan dan pelatihan memainkan peran penting di sini, tidak hanya dalam teknik tetapi juga dalam pemahaman filosofis yang mendalam. Ini adalah tugas yang berat bagi pendidik dan pelatih wayang kulit untuk tidak hanya mengajarkan metodenya, tetapi juga alasan di baliknya---mengapa wayang kulit penting, mengapa pelestarian prinsip-prinsip ini sangat penting, dan bagaimana mereka dapat disampaikan secara efektif kepada khalayak yang luas.
Dampak praktis dari dokumen ini sangat penting. Ini berarti bahwa setiap upaya untuk melestarikan wayang kulit harus mencakup pemahaman mendalam tentang filosofi yang dibawanya. Dengan kata lain, upaya pelestarian tidak cukup jika mereka hanya mempertahankan aspek fisik dari wayang kulit---seperti boneka dan gamelan---tetapi juga harus melestarikan aspek tidak berwujud, seperti nilai-nilai filosofis, cerita, dan simbolisme yang terkandung dalam pertunjukan.
Mempertimbangkan perkembangan wayang kulit kontemporer, kita dipanggil untuk menyeimbangkan tradisi dengan ekspresi modern. Ini bukan tentang mengubah wayang kulit menjadi sesuatu yang tidak dikenali, tetapi tentang menyesuaikan dan menerjemahkan nilai-nilainya agar diterima dan dihargai oleh generasi yang terbiasa dengan media sosial, film, dan bentuk hiburan modern lainnya.
Kesimpulan dari makalah ini memberikan kesempatan untuk refleksi bersama. Sejauh mana kita telah berhasil sebagai masyarakat dalam mendukung dan menyediakan ruang bagi generasi muda untuk memahami dan menghargai warisan budaya kita? Sejauh mana kita telah berhasil menunjukkan bahwa wayang kulit lebih dari sekadar pertunjukan tetapi juga media komunikasi massa yang efektif dan relevan?
Pada Hari Wayang Nasional tahun ini, marilah kita merenungi kembali makna wayang kulit dalam kehidupan kita. Sebagai masyarakat yang menghargai warisan budaya, kita berharap para dalang muda dapat menemukan keseimbangan antara menghormati tradisi dan mengeksplorasi ekspresi kreatif mereka. Dengan ini, kita dapat menantikan dengan optimisme bahwa seni wayang kulit akan terus hidup, tidak hanya sebagai bayangan dari masa lalu tetapi sebagai cahaya yang membimbing kita ke masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H