Pilpres 2024 ini adalah pilpres sayang anak, kata Yusril Ihza Mahendra. Puan Maharani, disodorkan oleh Megawati, AHY disodorkan oleh SBY, Yenny Wahid disodorkan oleh Sinta Nuriyah dan terakhir Gibran disodorkan oleh Jokowi, untuk menjadi calon wakil presiden, tandasnya dalam sebuah wawancara.
Populisme Politik: Kehilangan Jalan Menuju Kepemimpinan Berkualitas
Politik adalah dunia yang penuh dengan permainan kekuasaan, strategi, dan kepentingan. Di dalamnya, pemimpin dari berbagai daerah atau negara memiliki peran sentral dalam membimbing masyarakat menuju masa depan yang lebih baik. Namun, pandangan bahwa pemimpin tidak perlu mengandalkan kemampuan akademik dan hanya memerlukan popularitas adalah pandangan yang perlu dikritik. Populisme politik, yang menekankan popularitas dan kekuasaan untuk memobilisasi massa, seringkali mengabaikan kepentingan jangka panjang dan kualitas kepemimpinan. Meskipun kecerdasan atau keunggulan akademik mungkin bukan satu-satunya faktor dalam menilai kualitas seorang pemimpin, mereka tetaplah penting dalam mengarahkan sebuah negara menuju masa depan yang berkelanjutan dan bermakna.
Populisme politik seringkali mengabaikan konsep penting dalam kepemimpinan: kompetensi dan integritas. Membangun popularitas dan memanipulasi massa dengan janji-janji sederhana mungkin efektif dalam meraih kekuasaan, tetapi itu bukan jaminan bahwa seorang pemimpin akan mampu mengatasi masalah-masalah kompleks yang dihadapi oleh masyarakatnya. Populisme cenderung mengarahkan pemimpin kepada retorika yang sederhana yang mengabaikan kompleksitas dunia nyata.
Ada beberapa alasan mengapa popularitas semata tidak cukup untuk membuat seseorang pemimpin yang baik.
Pertama, popularitas seringkali bersifat sesaat dan mudah berubah. Pemimpin yang mengandalkan popularitas untuk mempertahankan kekuasaan dapat dengan mudah terperangkap dalam siklus perubahan opini publik yang cepat. Mereka mungkin mengabaikan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai perubahan jangka panjang karena terlalu fokus pada mempertahankan popularitas mereka.
Kedua, popularitas tidak selalu mencerminkan kebijaksanaan atau pemahaman yang mendalam tentang isu-isu penting yang dihadapi oleh negara atau daerah. Seorang pemimpin yang hanya dikenal karena kekayaannya atau keturunannya mungkin tidak memiliki pengetahuan atau pengalaman yang dibutuhkan untuk membuat keputusan bijaksana dalam berbagai aspek masyarakat.
Ketiga, pemimpin populis seringkali cenderung memprioritaskan kepentingan politik pribadi mereka sendiri daripada kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Mereka mungkin menggunakan popularitas mereka untuk mengamankan kekayaan pribadi atau kekuasaan, sementara kebutuhan masyarakat terpinggirkan.
Populisme politik juga seringkali memicu polarisasi dan konflik dalam masyarakat. Pemimpin yang mengandalkan retorika populis seringkali membagi masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang bersaing, daripada berusaha untuk bekerja sama dan mencapai konsensus. Hal ini dapat merusak stabilitas dan persatuan dalam sebuah negara atau daerah.
Kita telah menyaksikan contoh-contoh pemimpin populis di berbagai negara yang telah menghadapi krisis dan permasalahan serius akibat retorika mereka yang tidak bertanggung jawab. Mereka seringkali gagal mengatasi masalah seperti perubahan iklim, kemiskinan, atau ketidaksetaraan sosial karena lebih fokus pada retorika populis yang memuaskan pendukung mereka daripada solusi konkret.
Harapan untuk Masa Depan
Meskipun kritik terhadap populisme politik adalah hal yang sah, kita juga tidak boleh mengabaikan harapan bahwa politik dapat menjadi alat yang efektif untuk mencapai kebaikan bersama. Ada beberapa hal yang harus kita harapkan dari pemimpin daerah atau negara, dan kompetensi akademik adalah salah satu aspek penting.