Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Tiga Pembual dan Janji-janji Manis Politik

23 Oktober 2023   06:16 Diperbarui: 23 Oktober 2023   06:31 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi janji-janji manis politik. Gambar oleh AndreasAux dari Pixabay

Tiga anak, A, B, dan C, sedang berdebat dan mengutarakan cita-citanya masing-masing.

A menyatakan ingin menjadi seorang petani hebat, dia akan menghasilkan pisang sebesar Tugu Monas.

B tidak mau kalah, dia akan menjadi pengusaha alat-alat dapur.

A dan C menertawakan bahwa itu profesi yang rendah.

Tetapi B berusaha meyakinankan bahwa dia akan membuat wajan penggorengan sebesar stadion Jakarta International Stadium (JIS).

A dan C kaget, buat apa kau buat wajan sebesar itu B?, B menjawab untuk membuat pisang goreng dari pisang A yang sebesar Tugu Monas tadi.

C tidak mau kalah, tapi kira-kira C mau jadi apa dan apa yang akan dikerjakan untuk menyaingi A dan B?

C tersenyum tipis dan dengan percaya diri berkata, "Kalau begitu, aku akan menjadi ahli es krim terkenal di seluruh dunia! Aku akan membuat es krim rasa pisang dengan cone es krim sebesar Menara Eiffel."

***

Ketika kita pertama kali mendengar kisah tiga anak pembual - A, B, dan C di atas, mungkin yang pertama kali muncul dalam benak kita adalah tawa. Bagaimana mungkin ada pisang sebesar Tugu Monas, wajan seukuran Jakarta International Stadium (JIS), atau bahkan cone es krim sebesar Menara Eiffel? Namun, jika kita melihat lebih dalam, ada hikmah filosofis yang dapat ditarik dari kisah lucu ini. Cerita ini, meskipun muncul sebagai bualan anak-anak, sebenarnya menjadi representasi dari realitas pahit yang sering kali kita jumpai dalam kehidupan politik modern.

Tak jarang, para politisi datang dengan janji-janji yang kedengarannya luar biasa, mengesankan, dan terkadang bahkan fantastis. Janji-janji tersebut sering kali menggoda telinga, tapi kenyataannya? Kita seringkali merasa dipermainkan ketika janji tersebut tak kunjung direalisasikan. Mengapa? Karena janji tersebut sering kali dibuat tanpa pertimbangan yang matang, hanya untuk menarik perhatian atau mendapatkan dukungan.

Anak A, yang berjanji akan menghasilkan pisang sebesar Tugu Monas, mengingatkan kita pada para pemimpin yang membuat klaim besar tentang hasil pertanian atau produksi dalam negeri. Mereka berjanji akan melakukan revolusi di sektor ini atau itu, meningkatkan produksi hingga mencapai angka yang tak masuk akal, hanya untuk mendapatkan dukungan dari sektor tertentu dari masyarakat.

Anak B, dengan janjinya mengenai wajan penggorengan seukuran stadion JIS, mewakili mereka yang menjanjikan infrastruktur megah, tanpa mempertimbangkan apakah hal tersebut benar-benar diperlukan oleh masyarakat. Infrastruktur memang penting, namun apakah selalu semakin besar berarti semakin baik?

Dan C, dengan cone es krim sebesar Menara Eiffel, menggambarkan janji-janji yang dibuat hanya untuk "menyaingi" atau "mengalahkan" janji lain, tanpa memikirkan logika atau kelayakannya. Ini adalah refleksi dari politik yang seringkali menjadi ajang kompetisi ego, di mana tujuan utamanya adalah mengalahkan lawan politik, bukan melayani masyarakat.

Keprihatinan kita muncul ketika kita menyadari bahwa janji-janji ini, meskipun terdengar absurd dalam konteks cerita anak-anak, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang sering kita dengar dari para pemimpin kita. Seberapa sering kita diberi harapan palsu? Seberapa sering kita diberikan gambaran masa depan yang cerah, namun kenyataannya jauh dari harapan?

Mungkin saatnya kita, sebagai masyarakat, memulai gerakan kritis terhadap setiap janji yang dilontarkan. Pertanyakan logika di balik setiap klaim. Evaluasi kebutuhan riil masyarakat dan bandingkan dengan apa yang dijanjikan. Kita perlu mengembangkan pemikiran analitis, bukan hanya menerima setiap kata-kata manis yang dilemparkan kepada kita.

Kita harus mengingat bahwa setiap janji memiliki konsekuensi. Janji-janji yang tidak dipenuhi tidak hanya mengecewakan, tetapi juga dapat menghambat kemajuan suatu negara atau masyarakat. Kita perlu lebih waspada, lebih kritis, dan lebih tajam dalam menilai setiap janji yang diberikan.

Akhirnya, cerita tiga anak pembual ini, meskipun simpel dan lucu, memberikan kita kesempatan untuk merefleksikan sikap kita terhadap janji-janji politik. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari cerita ini dan mulai memandang janji-janji politik dengan lebih kritis dan analitis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun