Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Indonesia di Ambang Kleptokrasi

8 Oktober 2023   07:16 Diperbarui: 8 Oktober 2023   07:24 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Alexa from Pixabay 

Kleptokrasi, sebuah istilah yang berasal dari kata Yunani 'klepto,' yang berarti pencurian, dan 'kratos,' yang berarti kekuasaan atau pemerintahan, menggambarkan fenomena di mana pemimpin menggunakan kekuasaan negara untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Dalam konteks Indonesia, fenomena ini tidak asing. Namun, apakah korupsi di negara ini benar-benar telah mencapai titik kleptokrasi? Dalam pemeriksaan ini, kita akan menggali lebih dalam tanda-tanda kleptokrasi di Indonesia dan menjelajahi langkah-langkah untuk mencegah jurang korupsi yang lebih dalam.

Istilah "kleptokrasi" pertama kali muncul pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1819, dalam sebuah karya berjudul "Thieves, Ancient and Modern," yang terdapat dalam edisi ke-12 dari publikasi "The Indicator," yang ditulis oleh penulis Inggris Leigh Hunt (1784-1859). Pada saat itu, istilah ini digunakan untuk menggambarkan Spanyol. "Kleptokrasi" merupakan gabungan dari unsur-unsur bahasa Yunani, "klepto," yang berarti pencurian, yang berasal dari kata kerja "klptein," yang menunjukkan tindakan mencuri, dan "-krata," yang dalam konteks ini diartikan sebagai pemerintahan, terkait dengan kata kerja "krtos," yang berarti kekuasaan.

Selain itu, Merriam-Webster dan Dictionary.com juga mencatat bahwa penggunaan pertama istilah "kleptokrasi" berasal dari tahun 1819. Meskipun terdapat referensi terkait seperti "kleptistic" pada tahun 1743, istilah "kleptokrasi" sendiri baru muncul pada tahun 1819.

Dari berbagai sumber ini, dapat disimpulkan bahwa istilah "kleptokrasi" pertama kali muncul pada tahun 1819 melalui karya Leigh Hunt dan kemudian menjadi lebih umum digunakan untuk menggambarkan pemerintahan korup di mana pemimpinnya menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok.

Kleptokrasi dapat menyebabkan ketidakstabilan politik dan ekonomi, serta kerugian besar bagi masyarakat. Beberapa contoh negara yang telah mengalami atau sedang mengalami kleptokrasi termasuk Zaire di bawah kepemimpinan Mobutu Sese Seko dan Malaysia di bawah kepemimpinan Najib Razak.

***

Sejarah panjang Indonesia dengan korupsi telah menciptakan citra negara yang terluka. Kasus-kasus korupsi tingkat tinggi baru-baru ini, seperti keterlibatan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, dalam dugaan pemerasan terhadap pejabat tinggi lainnya, menyoroti masalah sistemik yang menggerogoti dasar-dasar demokrasi dan tata kelola kami.

Di tengah kontroversi ini, muncul pertanyaan penting: Apakah Indonesia menuju kleptokrasi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami ciri-ciri dan konsekuensi dari kleptokrasi.

Kleptokrasi menandai pemerintahan di mana korupsi bukan hanya terjadi di permukaan, tetapi telah mengakar dalam sistem. Pemimpin dan kelompok elit menggunakan kekuasaan negara untuk kepentingan pribadi, menciptakan pola perilaku koruptif yang sulit diubah.

Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang dirilis oleh Transparency International, Indonesia menempati peringkat 110 dari 180 negara dengan skor 34 dari 100 pada tahun 2022, menurun dari skor tahun sebelumnya, yaitu 38 pada tahun 2021. Skor 34 Indonesia berada di bawah rata-rata global, yang adalah 48,45. Skor CPI berkisar antara 0 hingga 100, di mana 0 menunjukkan tingkat korupsi tinggi dan 100 menunjukkan korupsi rendah. Penurunan ini menunjukkan bahwa upaya anti-korupsi masih belum mencukupi.

CPI dari Transparency International adalah alat penting untuk menilai sejauh mana korupsi telah merasuki sistem pemerintahan suatu negara. Ini mengevaluasi negara-negara berdasarkan persepsi mengenai sejauh mana korupsi meluas di kalangan pejabat publik dan politisi.

Skor 34 ini menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia dianggap sebagai masalah yang serius, menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tingkat korupsi yang cukup tinggi. Ini mengindikasikan bahwa korupsi telah menjadi bagian dari sistem pemerintahan, bukan hanya kasus-kasus individu. Jika dibiarkan, korupsi sistemik ini dapat mendorong Indonesia ke jurang kleptokrasi, di mana korupsi tidak hanya meluas, tetapi juga menjadi hal yang dianggap normal dalam pemerintahan. Namun, apa arti angka-angka ini dalam konteks yang lebih luas?

***

Situasi ini menciptakan lingkungan yang subur bagi kleptokrasi untuk tumbuh dan berkembang. Pemimpin dan pejabat publik yang korup dapat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk keuntungan pribadi, sementara masyarakat menjadi korban dari pemerintahan yang korup ini.

Kondisi ini sudah mencapai tingkat yang kritis. Tidak hanya menciptakan ketidakadilan sosial, korupsi sistemik juga menghambat pembangunan dan kemajuan negara. Upaya-upaya untuk mengatasi korupsi di masa lalu terbukti tidak cukup untuk mengatasi masalah ini.

Indonesia memiliki lembaga anti-korupsi, KPK, yang didirikan dengan tujuan untuk mengatasi korupsi. Namun, kasus-kasus terbaru menunjukkan bahwa bahkan lembaga anti-korupsi ini bisa terkontaminasi oleh masalah yang sama yang ingin dihapusnya. Dugaan kasus Firli Bahuri adalah contoh bagaimana korupsi bisa merasuk ke dalam lembaga yang seharusnya menjadi benteng terdepan dalam perang melawan korupsi.

Namun, tidak semua berita itu suram. Indonesia telah menyaksikan gelombang reformasi tata kelola dan akuntabilitas dalam dekade terakhir. Implementasi regulasi anti-korupsi dan upaya untuk meningkatkan transparansi adalah langkah-langkah positif menuju pencegahan korupsi sistemik.

Masalahnya adalah, upaya ini sering kali tidak konsisten atau tidak cukup kuat untuk mengatasi akar masalah korupsi. Selain itu, korupsi sering kali dilihat sebagai masalah individual, bukan masalah sistemik. Ini adalah pemahaman yang salah yang dapat menghambat upaya pemberantasan korupsi.

Image by sibya from Pixabay
Image by sibya from Pixabay

Masyarakat juga memainkan peran penting dalam perjuangan melawan korupsi. Keberanian untuk berbicara dan menuntut akuntabilitas dari pejabat publik adalah langkah penting dalam mencegah korupsi sistemik. Masyarakat harus dilengkapi dengan informasi dan alat yang diperlukan untuk mengidentifikasi dan melaporkan korupsi.

Penting untuk diakui bahwa korupsi adalah masalah yang kompleks yang memerlukan solusi multi-faset. Peningkatan legislasi, pendidikan masyarakat tentang bahaya korupsi, dan penguatan lembaga anti-korupsi adalah langkah-langkah penting menuju Indonesia yang lebih transparan dan akuntabel.

Kita juga perlu melihat ke luar negeri untuk solusi dan pelajaran. Negara-negara yang telah berhasil mengatasi korupsi sistemik dapat memberikan panduan berharga tentang cara membangun tata kelola yang lebih baik dan menciptakan budaya akuntabilitas.

***

Secara keseluruhan, tantangan menuju pemberantasan korupsi di Indonesia adalah tugas yang berat, namun dengan komitmen kuat dari pemerintah, lembaga anti-korupsi, dan masyarakat, kita dapat bergerak menuju pemerintahan yang lebih bersih dan transparan, menjauh dari bayangan kleptokrasi yang mengancam. Melalui kerja sama dan tekad, kita dapat menghindari jurang korupsi dan membangun masa depan yang lebih cerah untuk Indonesia.

Sudah saatnya bagi Indonesia untuk mengambil langkah-langkah tegas dan berarti untuk mengatasi korupsi. Penguatan lembaga anti-korupsi, penegakan hukum yang lebih efektif, dan transparansi dalam tata kelola publik adalah langkah awal penting untuk membangun fondasi yang kuat untuk pemerintahan yang bersih dan akuntabel.

Namun, langkah-langkah ini hanya akan efektif jika didukung oleh komitmen kuat dari semua pihak. Pemimpin politik, pejabat publik, dan masyarakat harus bersatu untuk melawan korupsi dan mencegah terjadinya kleptokrasi.

Penting juga untuk menciptakan budaya di mana korupsi tidak hanya ditolak, tetapi juga dianggap sebagai tindakan yang tidak dapat diterima. Edukasi publik mengenai bahaya korupsi dan bagaimana melaporkan korupsi adalah langkah kunci dalam mencegah korupsi sistemik.

Di tingkat internasional, Indonesia harus berkomitmen untuk mematuhi standar anti-korupsi internasional dan bekerja sama dengan negara-negara lain dalam perang melawan korupsi.

Indonesia berada di persimpangan jalan. Pilihan yang kita buat hari ini akan menentukan apakah kita akan bergerak menuju pemerintahan yang lebih bersih dan adil, atau tergelincir lebih lanjut ke dalam jurang korupsi dan kleptokrasi. Mari kita pilih jalan yang benar dan bekerja bersama untuk menciptakan masa depan yang lebih cerah dan adil untuk semua warga Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun