Dalam mencari jawaban dari teka-teki kebenaran dan kesalahan, ada satu frase yang sering diulang: "Bimbang pada kebenaran lebih baik daripada pasti pada kesalahan." Frase ini mengajak kita untuk merenungkan hubungan antara kebenaran yang relatif dengan kesalahan yang absolut. Menilik lebih dalam, persoalan ini mencerminkan perdebatan panjang dalam filsafat tentang hakikat kebenaran dan bagaimana manusia memahaminya.
Relativitas Kebenaran
Filsuf Friedrich Nietzsche pernah berkata, “Tidak ada fakta, hanya interpretasi.” Nietzsche menunjukkan bahwa kebenaran bisa bersifat subjektif, bergantung pada perspektif individu. Ketika seseorang merasa bimbang tentang suatu kebenaran, itu bukanlah sebuah ketidakpastian yang sia-sia. Sebaliknya, itu menunjukkan kesadaran mendalam bahwa kebenaran mungkin memiliki banyak wajah. (Baca: "Teori Nietzsche Mengenai Etika")
Relativitas kebenaran bukan berarti menolak adanya kebenaran. Sebaliknya, ia mengakui bahwa kebenaran bisa dilihat dari banyak sudut pandang. Immanuel Kant, dalam karyanya "Kritik Kemurnian Murni", menjelaskan bahwa ada kebenaran "a priori" yang mendasar dan tak tergantung pada pengalaman. Namun, cara kita memahami dan menginterpretasikan kebenaran tersebut bisa berbeda-beda, tergantung pada konteks dan perspektif individu. (Baca: "Apa Itu Kritik Akal Budi Murni?")
Absolutisme Kesalahan
Sebaliknya, konsep kesalahan yang absolut bisa terlihat kontradiktif dengan pandangan kebenaran yang relatif. Jika kebenaran bersifat relatif, bagaimana mungkin kesalahan bisa bersifat absolut? Di sini, kita dapat mengambil inspirasi dari pemikiran filsuf Søren Kierkegaard yang mengemukakan tentang "keputusasaan eksistensial." Kesalahan, dalam konteks ini, bukan hanya sekedar kesalahan faktual, tetapi kesalahan dalam memahami esensi eksistensi kita. (Baca: "Eksistensialisme - Antara Kierkegaard dan Sartre")
Mungkin, ketika kita berbicara tentang "pasti dalam kesalahan," kita merujuk pada penolakan terhadap eksplorasi kebenaran yang lebih dalam. Ketidakmauan untuk mempertanyakan, merenung, atau bahkan mengakui ambiguitas kebenaran mungkin dianggap sebagai kesalahan yang absolut.
Kepekaan Penalaran sebagai Kunci
Seperti yang Anda katakan, kepekaan penalaran kita akan berkembang. Dengan perkembangan ini, kita menjadi lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan baru dalam memahami kebenaran. Filsuf John Dewey berpendapat bahwa pemikiran adalah alat adaptasi, menurutnya, pemikiran adalah cara manusia beradaptasi dengan lingkungannya dan memecahkan masalah yang dihadapi.
Ia juga mengemukakan konsep "pemikiran reflektif", yang merupakan pertimbangan aktif, terus-menerus, dan teliti terhadap informasi atau keyakinan dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang mendukung. Pemikiran reflektif membantu individu dalam menganalisis masalah, mengevaluasi, menyimpulkan, dan memutuskan penyelesaian terbaik. (Baca: "Pengertian Filsafat Pendidikan Pragmatisme dan Pemikiran John Dewey")
Kepekaan ini memungkinkan kita untuk mengakomodasi kebenaran yang berbeda tanpa harus menolak satu di antaranya. Dengan demikian, bimbang pada kebenaran menjadi suatu bentuk keberanian untuk mengakui kompleksitas realitas.
***
Bimbang pada kebenaran dan pasti pada kesalahan adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Keduanya mengajak kita untuk merenungkan hubungan kita dengan kebenaran dan bagaimana kita memahaminya. Melalui pemahaman filsafati dari Nietzsche, Kant, Kierkegaard, dan Dewey, kita dapat melihat bahwa kebenaran mungkin tidak sesederhana hitam dan putih. Sebaliknya, ia penuh dengan nuansa abu-abu yang membutuhkan kepekaan penalaran untuk memahaminya.
Dalam perjalanan kita mencari kebenaran, mungkin kita akan merasa bimbang. Namun, bimbang bukan berarti kita tersesat. Sebaliknya, itu menunjukkan bahwa kita berada di jalur yang benar, jalur yang mengakui kerumitan kebenaran dan terus mencari pemahamannya yang lebih mendalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H