Langit senja merona merah ketika kereta api Brawijaya melintasi kota Blitar. Sepotong kenangan menyelinap, mengingatkan Rama kepada Lia, sahabatnya yang lama tak bertemu. Rama duduk di kursi kereta, memandang pemandangan luar dari balik jendela. Ia ingat betul bagaimana ia dan Lia dulu sering bercita-cita akan berkelana bersama menggunakan kereta api.
"Kita harus naik kereta api Brawijaya suatu saat nanti, Rama!" seringkali Lia bersemangat mengatakan hal itu. Namun, entah mengapa, impian itu tak pernah terwujud.
Sebuah kilas balik merayapi pikiran Rama. Suatu hari, mereka berdua naik bis bersama. Saat itu, hujan turun dengan derasnya, membasahi bumi. Lia turun lebih dulu, dan saat ia berjalan pergi dengan payung merah mungilnya, ia berbalik dan melambaikan tangan sambil tersenyum. Senyuman itu, yang hangat dan tulus, selalu menghantui ingatan Rama.
Kini, di dalam kereta, seakan-akan Lia ada di sampingnya, membagikan tawa dan cerita. Rama menarik napas dalam-dalam, merasakan kerinduan yang mendalam. Ia membayangkan jika Lia ada di sampingnya, mungkin mereka akan berbagi kopi panas, mengobrol tentang masa lalu, masa depan, dan segala hal di antaranya.
Ponsel Rama bergetar, menampilkan pesan baru. Ia terkejut melihat nama pengirim: Lia.
"Hey, kamu ingat janji kita naik kereta api bersama? Aku di gerbong belakang. Ayo temui aku!"
Rama terdiam sejenak, tak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Dengan cepat, ia beranjak dari kursinya, berjalan menuju gerbong belakang. Ketika ia sampai, ia melihat Lia duduk di salah satu kursi, dengan senyuman yang sama hangatnya seperti dulu.
Tanpa banyak kata, mereka berpelukan. Seperti dua sahabat yang telah lama terpisah, namun kini dipertemukan kembali oleh takdir dan kenangan bersama di atas rel kereta api.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H