Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konferensi Ilmiah Internasional di Kota Jombang, Mengapa Tidak?

4 September 2023   06:34 Diperbarui: 4 September 2023   06:49 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konferensi ilmiah adalah sebuah pertemuan formal yang diselenggarakan oleh komunitas akademik atau profesional dengan tujuan utama untuk memperkenalkan, mendiskusikan, dan berbagi pengetahuan dan temuan terbaru dalam bidang tertentu. Mengadakan konferensi semacam ini seringkali menggabungkan para ilmuwan, peneliti, profesional berprestasi, calon ilmuwan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk bertukar wawasan, temuan empiris, dan solusi inovatif.

Di sebuah konferensi ilmiah, peserta biasanya mempresentasikan makalah atau poster yang menggambarkan penelitiannya, yang kemudian mendapat umpan balik, kritik, dan masukan dari rekan-rekannya. Lebih lanjut, konferensi ilmiah ini juga berfungsi sebagai sarana untuk membangun hubungan profesional, bekerja sama dengan ilmuwan lain, dan memperoleh wawasan tentang tren dan perkembangan terbaru dalam disiplin ilmu tersebut. Penting untuk dipahami bahwa konferensi ilmiah bukan sekadar pertemuan biasa; itu merupakan kesempatan emas untuk pertukaran informasi dan pengetahuan yang mendalam.

***

Dalam pikiran saya, konferensi - terutama yang bersifat ilmiah - telah lama dikaitkan dengan bangunan megah di kota-kota besar, hotel berbintang, dan lokasi yang mudah diakses oleh peserta dari seluruh dunia. Ini tentu masuk akal, mengingat banyaknya fasilitas yang ditawarkan oleh kota-kota besar. Namun, pernahkah kita mempertimbangkan potensi kota-kota kecil sebagai tempat konferensi? Mungkin sekarang saatnya untuk melihat dari perspektif yang berbeda.

Pertama, saya percaya bahwa kota-kota kecil di Indonesia atau di negara lainnya, memiliki sejarah, budaya, dan karakteristik unik yang dapat memperkaya dan mendalam konferensi, terutama jika topik yang dibahas berkaitan dengan sejarah atau budaya. 

Bayangkan menyelenggarakan konferensi internasional tentang sejarah nasional Indonesia di Jombang atau Blitar. Kota-kota ini bukanlah kota biasa. Misalnya, Jombang tidak hanya dikenal sebagai kota biasa tetapi juga sebagai tempat kelahiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden keempat Indonesia, dan Emha Ainun Najib, tokoh budaya terkenal. Sementara itu, Blitar adalah tempat peristirahatan terakhir Bung Karno, proklamator kemerdekaan Indonesia, yang makamnya menjadi tempat ziarah bagi banyak orang.

Selanjutnya, dengan menyelenggarakan konferensi di kota-kota kecil, kita memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat untuk terlibat langsung dalam acara nasional atau internasional. Keterlibatan ini tidak hanya meningkatkan kepemilikan dan partisipasi masyarakat tetapi juga membawa dampak ekonomi yang signifikan. Menginap di rumah-rumah lokal, misalnya, bisa menjadi sumber pendapatan tambahan bagi penduduk. Menampilkan kuliner lokal bisa menjadi jalan bagi pengusaha lokal untuk mempromosikan makanan khas mereka. Ini merupakan bentuk pemberdayaan ekonomi langsung bagi masyarakat setempat.

Akomodasi dan infrastruktur mungkin memang menjadi tantangan utama. Namun, saya optimis bahwa melalui kerjasama yang efektif antara panitia konferensi, pemerintah kota, dan masyarakat setempat, tantangan ini dapat diatasi. Menggunakan rumah-rumah lokal sebagai akomodasi sementara adalah salah satu solusi inovatif yang dapat diterapkan. Dengan demikian, konferensi tidak hanya memberikan manfaat ilmiah tetapi juga sosial, budaya dan ekonomi.

Mengenai masalah telekomunikasi, saya setuju bahwa infrastruktur kini telah berkembang pesat, bahkan di daerah-daerah terpencil sekalipun. Berkat kemajuan teknologi terbaru, tugas menyelenggarakan konferensi di daerah yang kurang padat penduduknya bukan lagi halangan yang tidak dapat diatasi. Bahkan, dengan kemajuan teknologi virtual, konferensi hybrid bisa menjadi solusi, memungkinkan mereka yang tidak dapat hadir secara langsung untuk tetap berpartisipasi.

Namun, saya juga sadar bahwa perubahan seringkali mendapat perlawanan. Banyak yang mungkin meragukan konsep ini, menganggapnya terlalu berisiko atau tidak efisien. Namun, bukankah ide-ide baru selalu dilihat seperti ini hingga terbukti keberhasilannya? Bukankah kita selalu mencari inovasi dan pendekatan baru? Mungkin saatnya kita memberikan kesempatan kepada kota-kota kecil di Indonesia untuk menunjukkan potensinya.

Kesimpulannya, saya yakin bahwa dengan perencanaan yang teliti, kerjasama yang kuat di antara semua pemangku kepentingan, dan dukungan dari masyarakat setempat, konferensi di kota-kota kecil dapat meraih kesuksesan yang besar. Inisiatif ini tidak hanya tentang menyelenggarakan konferensi di lokasi alternatif tetapi juga tentang menciptakan dampak positif yang berkelanjutan bagi masyarakat setempat. Saya berharap kita semua dapat melihat potensi ini dan bekerja sama untuk mewujudkannya menjadi kenyataan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun