Mohon tunggu...
Syahar Banu
Syahar Banu Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Falsafah dan Agama Universitas Paramadina | Bisa dijumpai juga di syaharbanu.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Belajar Persahabatan dari Freud yang Atheist dan Pfister yang Religius

12 Oktober 2013   15:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:38 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1381563285652130227

Di dalam artikel itu, pastor tua itu menghabisi Freud dengan berkata bahwa paling tidak Freud menyadari peran cinta dalam Psikoanalisa walau cinta yang freud maksud justru mengkerdilkan cinta dalam persepsi Pfister. Psikoanalisa adalah alat, sedang cinta adalah kehidupan itu sendiri. Sekat-sekat libido yang mengkerangkeng cinta tersebut tidak akan dapat mencegah cinta meleleh keluar dari kerangkengan besi penjara yang dibuat Freud. Cinta dengan keagungannya yang spiritual dan transenden akan berkembang biak lebih besar lewat celah-celah itu. Jika cinta hanya seputar libido, maka tidak ada lagi ketulusan, kasih sayang, dan cinta kasih dalam kehidupan manusia jika seseorang tidak mendapat manfaat pragmatis tentang kepuasan sexual.

Belum selesai sampai disitu, Pfister, sesuai dengan konsekuensi logis dari kepasturannya, menjawab teori anti Tuhan Freud dengan mengungkapkan bahwa kesalahan Freud adalah hanya mendekati manusia sebagai sebuah subjek lahiriah sehingga mengabaikan hal-hal yang tidak terlihat, seperti akal misalnya yang membentuk banyak kecenderungan hal-hal fitri dalam diri manusia yang erat kaitannya dengan spiritual.

Psikoanalisis yang dikembangkan Freud yang memusuhi agama justru digunakan sebagai Psikoanalisis spiritual yang menjadi pendukung utama agama. Karena ada banyak peristiwa agama yang membutuhkan ilmu psikoanalisis agar para agamawan tidak salah dalam mendiagnosa masalah yang terjadi pada umat beragama. Bayangkan jika agama terpisah sama sekali dengan psikoanalisis, bagaimana kita menganalisa pengalaman-pengalaman spiritual dari umat beragama yang memperngaruhi kondisi kejiawaan seseorang.

Untuk mengapresiasi bukunya yang mentinggung soal cinta itu, Pfister memberikan pujian pada Freud, "Dia adalah orang Kristen paling baik yang pernah aku temui." Freud sebenarnya agak tersinggung sih, soalnya jelas-jelas, Ia menyimpan sinisme yang dalam terhadap agama. Kok ya malah dibilang sebagai orang beragama.

Freud keukeuh berpendapat bahwa agama itu ilusi dan pandangan pfister itu sampah. untuk mengambil jalan tengah tentang perdebatan mereka, akhirnya Freud menulis surat pada Pfister yang kira-kira isinya begini, "Fair-fair-an aja ya kita. Yang gue bilang di buku itu bukan pandangan analitis sih sebenernya. Itu pandangan pribadi gue aja bro. Keep peace, love and gaul ya..."

Teori Pfister tentang keterkaitan Psikoanalisis dengan agama memang terlambat di apresiasi orang-orang. Padahal, saat itu, Freud memang sedang moncer-moncernya. Baru deh, tahun 1983 ada apresiasi terhadap teori Pfister dengan pemberian Oscar Pfister Award ke orang yang memberikan kontribusi penting spiritual dalam bidang psikoanalisa. Salah satu orang yang mendapatkan Award ini adalah Viktor Frankl, seorang psikoanalisis spiritual dan (lagi-lagi) banyak mengkritik Freud.

Pfister meninggal tahun 1956. Ia jadi satu-satunya sahabat Freud yang sampai akhir hayatnya masih bersahabat. Freud sendiri meninggal tahun 1939 Persahabatan mereka diabadikan lewat jurnal-jurnal dan berbagai macam teks psikologi yang memberi tempat pertemuan untuk wilayah psikoanalisis dan agama. Surat mereka berdua diterbitkan dan jadi bacaan wajib bagi mahasiswa yang mempelajari psikologi agama.

Persahabatan intelektual mereka bisa menjadi inspirasi buat kita semua bahwa perbedaan ideologis bukan halangan seseorang untuk jadi berteman. Ada surat menyurat antara Nurcholish Madjid dan Romo Magnis Suseno juga yang mengungkapkan ketersinggungan Romo Magnis terhadap pernyataan Cak Nur di UI tentang sosok Yesus. Surat menyurat mereka berdua juga bisa jadi contoh sebuah persahabatan intelektual yang bermanfaat.

Dari situ, aku belajar banyak dari mereka tentang persahabatan lintas ideologi. Sehingga membuatku bisa bersahabat dengan berbagai macam golongan. Ada yang Syiah, Ahmadiyah, Agnostik, Atheist, Kristen, Katolik, Hindu, Kejawen, Komunis, Liberal, Sosialis, NU, Muhammadiyah, PERSIS dan lain-lain tanpa perdebatan sia-sia untuk saling mengkafirkan.

Boleh saja perdebatan itu terjadi, karna itu tidak terhindarkan. Jika memang itu tentang keyakinan, maka bisa diselesaikan secara akademis dalam koridor yang ilmiah, tentunya, dengan rujukan-rujukan bermutu, bukan sekedar website-website yang penuh provokasi kebencian dan saling mengkafirkan.

Bersahabat aja yuk!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun