Banyak diantara kita yang tidak bisa berteman dengan orang yang memiki perbedaan pandangan dengan kita. Ada juga, yang terpaksa mengakhiri persahabatan hanya karena merasa sudah tidak sejalan lagi, baik dalam pengambilan keputusan, ideologi, maupun ketidaksepakatan lain.
Beberapa orang, menghindari perdebatan dan diskusi hanya karena tidak ingin kehilangan sahabatnya. Akhirnya proses dialog yang seharusnya terjadi agar arah kehidupan intelektual bisa lebih baik lagi tidak terbuka. Dalam proses dialog, ada salah satu pihak yang masih memendam ketidaksetujuan yang akhirnya hanya akan jadi bom waktu bubarnya persahabatan. Ada juga pihak lain yang malas untuk melakukan dialog karena merasa percuma dan takut, dialog yang akan terjadi tidak akan mengubah apapun.
Lalu, harusnya bagaimana? Bisakah kita bersahabat dengan seseorang yang berbeda pandangan ideologis dengan kita?
Mari kita belajar dari persahabatan antara Sigmund Freud yang Atheis dengan Oskar Pfister yang seorang Pastor.
Buku Surat Menyurat yang terbitkan (Sumber : sebodomessias.com.br)
Bisa dikatakan, Freud adalah seorang atheist terbesar di awal abad 20. Teori Psikoanalisanya diakui dan digunakan oleh dunia psikologi sebagai sebuah karya yang monumental. Kecerdasan Freud membuat namanya dikenal dimana-mana sehingga Ia juga bersahabat dengan tokoh menonjol dalam dunia psikologi lainnya. Seperti Jung, Alfred Alder, Willhem Flises dan Otto Rank. Seringnya perbedaan pendapat dalam mengungkapkan teori-teori psikologinya membuat Freud berpisah jalan dengan teman-temannya tersebut.
Sampai akhir hidupnya, yang tahan untuk tetap jadi sahabat Freud yang nyentrik hanyalah Oskar Pfister. Adanya perbedaan ideologi keduanya justru membuat persahabatan mereka lebih berwarna. Karena keduanya tidak pernah menghindari perdebatan pendapat tentang rumusan yang mereka tekuni. Freud dengan atheismenya, dan Pfister masih konsisten dengan kekristenannya.
Untuk menjawab Pfister dan mengukuhkan pandangannya tentang atheisme, Freud menerbitkan manifesto anti agamanya berjudul The Future of Illusion . Freud pikir, perdebatan panjang yang sering menjadi tontonan kekasihnya -Anna- di apartemennya akan berakhir begitu saja setelah buku itu diterbitkan. Karena Ia begitu yakin bahwa buku tersebut serta merta akan meruntuhkan bangunan pemikiran spiritual dalam psikoanalisis Pfister. Ia sangat puas dengan buku tersebut dan tak sabar menunggu karya pamungkasnya itu terbit. Namun, Ia berpikir ulang tentang sahabatnya itu. Ia jadi takut jika sahabatnya justru tersinggung dan mengahiri persahabatan mereka. seperti yang dilakukan teman-temannya yang lain. Jung misalnya.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Freud mengirim surat ke Pfister. Kalau kejadian itu ada di jaman sekarang, kira-kira isi suratnya begini, "Bro, woles aja ya kalau baca buku gue, soalnya gue yakin elu pasti bakal kesinggung berat. Pokoknya, habis baca buku ini, kita tetep temenan yak. Ngopi-ngopi lagi gitu..."
Teori-teori pokok yang ditulis Freud tentang cinta dan agama menjadi perhatian Pfister. Misal tentang pandangan Freud yang mengungkapkan tentang "Penyembuhan jiwa melalui Cinta" sebagai sarana Psikoanalisis. Cinta disini hanya berbentuk pelepasan libido -sex-. Kira-kira, intinya adalah, tidak mungkin bicara cinta tanpa orgasme sexual. Freud juga menganggap bahwa agama adalah sebuah ilusi, delusi, dan hasrat anak-anak yang gagal terpenuhi saat manusia menjadi dewasa. Untuk dapat mengembangkan peradaban, orang harus mengutamakan ilmu pengetahuan dan meninggalkan agama dengan saintis sebagai teladan hidup. Bukannya malah terdokrin oleh kitab suci dan para pastor di gereja.
Pandangan-pandangan itulah yang membuat Freud khawatir sahabatnya akan tersinggung. Tapi dugaan Freud meleset. Bukannya tersinggung, buku Freud malah membuat Pfister menulis artikel tanggapan tsebagai respon atas buku Freud. Artikel itu berjudul The Illusion of the Future.