Mohon tunggu...
Andi Alam
Andi Alam Mohon Tunggu... Sopir Taksi -

Pelukis Alam dan Pencari Inspirasi...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamat Jalan Sebotol Susu Sapi

20 Januari 2014   22:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:38 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku… akan merindukan semua ini.

Aroma teh yang samar-samar tercium di udara, warna hijau yang terbentang sejauh mata memandang, embun pagi yang menetes jatuh dari pucuk daun teh, dan bahkan tanah lembab yang dipenuhi oleh cacing-cacing gemuk berwarna merah muda. Aku akan merindukan semuanya…

Kupenuhi paru-paruku dengan udara segar yang langsung membuatku menggigil kedinginan. Kurapatkan jaket abu-abuku dengan tangan kiri untuk melindungi hawa dingin yang menyerangku, sementara tangan kananku terjulur bebas untuk menyentuh setiap pucuk pohon teh yang kulewati.Kutengadahkan kepalaku untuk melihat matahari pagi yang memanggil pagi untuk menggantikan malam.Membiaskan cahayanya agar langit biru dapat muncul menggantikan kelamnya malam. Aku, akan merindukan semuanya..

Beberapa ibu pekerja kebun teh sudah mulai melakukan rutinitas mereka.Kuukir seulas senyuman di wajahku setiap kalinya aku berpapasan dengan salah satu dari mereka. Ahh…semua keramahan ini… aku akan merindukan semuanya…

“Jojo!”

Kutengokkan kepalaku ke arah sebuah suara yang memanggilku.Nadin.Seorang gadis berkulit sawo matang dengan perawakan yang jauh lebih kecil dari diriku. Rambut hitamnya berkilat tertimpa sinar matahari saat ia berlari ke arahku. Gadis itu tersenyum lebar seraya memamerkan deretan gigi-giginya yang… berantakan.Ia berlari menuruni salah satu bukit kecil kebun teh seraya melambaikan tangannya ke arahku dengan begitu bersemangat. Hingga tiba-tiba ia terpeleset dan jatuh berguling menuruni bukit. Aku pun memekik kaget dan langsung berlari ke arahnya.

“Duh..kamu ini! selalu tidak hati-hati.”omelku.

Iahanya menanggapi omelanku dengan cengiran lebar, sementara aku tertawa terbahak-bahak dibuatnya karena ada tanah yang menempel di giginya. Aku kemudian membantu Nadin untuk berdiri seraya menepuk-nepuk bajunya yang belepotan tanah.Kugandeng tangan mungilnya itu untuk menuntunnya berjalan di tanah perkebunan teh yang memang lembab dan licin.Tanpa kusadari, tatapanku terus melekat pada wajah Nadin.Ku pandangi wajah mungil gadis itu.Kesedihan pun menyeruak seketika, memenuhi relungku.Sesak rasanya.Air mataku hampir menetes. Aku tidak akan melihat wajah mungil yang selalu tersenyum menyapaku ini besok. Bukan. Aku tidak akan melihat wajah Nadin untuk waktu yang cukup lama.

“ Jojo, ayo cepat siap-siap! Perjalanan dari Puncak ke bandara itu jauh loh! Nanti kamu ketinggalan pesawat.”

Aku hanya dapat tersenyum pahit, menanggapi pesan bijak dari sahabatku itu.Berat rasanya untuk meninggalkan negeri ini.Tanah kelahiranku, yang juga merupakan tempatku tumbuh besar selama 17 tahun lamanya.Tidak rela rasanya untuk meninggalkan negeri ini demi menuntut ilmu di negeri seberang.Langkahku terus bertambah berat seiring dengan aku melangkah.Haruskah aku melakukannya?Apa keputusanku untuk bersekolah di luar negeri adalah keputusan yang tepat?

Anginnakal terus membuatku sibuk merapikan rambut hitam panjangku yang acak-acakan dibuatnya.Daun-daun teh pun bergemerisik di sekitarku dan Nadin, seakan-akan memintaku untuk tetap tinggal.Tidak mengijinkanku untuk pergi meninggalkan mereka.Apa aku masih dapat melihat mereka suatu hari nanti? Aku terlalu memperhatikan daun-daun teh yang berusaha untuk menyampaikan salam perpisahan padaku. Sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa aku telah tiba di sebuah jalan setapak yang sudah sangat akrab bagi kedua kakiku. Jalan setapak yang akan membawaku ke rumah kedua-ku, Panti Wreda Linar, sebuah panti wreda yang didanai oleh orangtuaku. Panti Wreda Linar sangatlah spesial.Berbeda dengan panti-panti wreda lainnya,Panti Wreda Linar ditinggali oleh para veteran yang dulunya mengorbankan diri mereka demi kemerdekaan Indonesia.

Mendengarkan kisah-kisah perjuangan yang dituturkan oleh para kakek veteran dengan penuh semangat adalah salah satu alasan mengapa aku sangat suka berkunjung ke Panti Linar.Mata mereka yang dihiasi oleh bintik-bintik hitam dan keriput selalu tampak lebih bercahaya setiap kali mereka mengisahkan perjuangan mereka dahulu.Dan sorot mata itu-lah yang selalu membuatku terhipnotis dalam setiap cerita mereka.Membayangkan diriku hidup di zaman dimana para orang-orang berkulit putih itu masih menjajah Indonesia.Akankah aku menjadi wanita lemah yang hanya menuruti keinginan mereka?Atau, akankah aku menjadi seorang wanita yang memberontak bersama kaum wanita lainnya? Aku pasti akan merindukan kisah-kisah para kakek veteran yang baik hati itu…

Nafasku sesak.Rasanya seperti udara di sekitarku memadat dengan seketika saataku masuk ke dalam Panti Linar.Senyuman-senyuman hangat pun menyambutku yang masih diam terpaku di tempat.Para kakek dari Panti Linar sudah duduk dengan rapi, mengelilingi ruang tamu.Sebuah kegiatan yang sudah sering mereka lakukan, bersama-sama berkumpul di ruang tamu.Hanya saja, yang berbeda adalah kenyataan bahwa tidak ada satu-pun yang bermain catur, mengumbar lelucon iseng, ataupun membaca majalah.Mata kuyu mereka semua tertuju kepadaku, memancarkan kasih sayang. Dinding putih ruang tamu panti pun dihiasi dengan kertas bertuliskan,

“SELAMAT JALAN JOJO! SEMOGA SUKSES!”

Butuh usaha yang keras bagiku agar tidak menangis.Aku benar-benar tidak sanggup meninggalkan semua ini. Aku akan sangat merindukan semuanya. Merindukan bagaimana aroma teh memenuhi seluruh tempat, bagaimana tanah merah yang becek mengotori semua sepatuku, bagaimana cerita dari para kakek memenuhi setiap lubang imajinasiku, meresap kedalam pikiranku, hingga aku tidak dapat melupakan satu-pun kisah mereka yang fantastis itu. Aku akan merindukan negeri ini. Negeri yang membiusku dengan sejarahnya yang begitu menegangkan, begitu penuh akal tipu dan juga keajaiban…Sanggupkah aku bertahan sendirian tanpa kisah kakek yang menemani hari-hariku?

Aku pun langsung menghambur ke pelukan para kakek, memeluk mereka satu per satu dengan erat seraya mendengarkan pesan-pesan yang disampaikan mereka.Dan tentu saja, Kakek Nazam tidak ada di ruang tamu. Beliau pasti berada di kamarnya…

Kakek Nazam adalah veteran paling tua di Panti Linar.Beliau adalah orang yang paling berpengaruh di dalam hidupku.Cara beliau berpikir, melihat sebuah masalah, dan juga menyelesaikannya selalu membuatku kagum.Beliau selalu mengulurkan tangannya untuk memberiku pertolongan di saat aku membutuhkan.Beliau selalu menenangkanku dan juga membimbingku dengan kata-katanya. Beliau adalah apa yang kudefinisikan sebagai arti dari kata ‘bijaksana’. Namun, beliau dikucilkan oleh veteran lainnya di Panti Linar karena dianggap sebagai kroni Belanda.Pasalnya, beliau adalah mantan perawat yang bekerja di balai pengobatan yang beliau dirikan sendiri.Beliau mengobati semua orang yang datang kepadanya di masa itu.Dan definisi ‘semua’ itu, termasuk para tentara Belanda yang terluka saat peperangan ataupun terjangkit wabah penyakit.Bagaimana beliau tidak dibenci oleh veteran lainnya? Jika kakek-kakek veteran lainnya berkorban jiwa raga untuk menyingkirkan para penjajah, sementara kakek Nazam malah menyelamatkan nyawa para penjajah yang sudah sekarat.

Kita ada di sini bukan untuk saling bersaing.Kita ada di sini untuk saling melengkapi.

Begitu ucap kakek Nazam padaku setiap kali kutanyakan alasan mengapa beliau dapat memaafkan para penjajah dengan begitu mudahnya, dan bahkan menyelamatkan nyawa mereka.Aku yang bahkan tidak hidup di masa itu saja dapat merasakan kebencian yang membuat darahku mendidih setiap kali mendengar cerita dari kakek lainnya. Semua siksaan dan paksaan yang dilakukan oleh mereka rasanya tidak akan pernah dapat kumaafkan. Begitu keji, tidak berkeprimanusiaan, dan menjijikkan.Aku masih tidak habis pikir, bagaimana bisa ada ‘manusia’ yang hanya berwujud manusia.Tapi hatinya, dihuni oleh setan.Hati binatang buas.Bukan manusia.

Maka, setelah selesai berbincang-bincang dengan kakek penghuni Panti Linar lainnya, aku pun bergegas menuju ke kamar kakek Nazam.Waktuku disini sudah semakin menipis, aku harus bergegas ke bandara dalam beberapa menit lagi.Rasanya baru saja aku menginjakkan kaki kecilku disini saat aku dibawa oleh kedua orangtuaku. Dan sekarang, aku sudah akan meninggalkannya saja….

Kubuka pintu kamar kakek Nazam dengan tergesa-gesa.Kosong.

Kemana beliau? Mengapa ia tidak ada di kamarnya? Apa beliau tidak mau mengucapkan salam perpisahan kepadaku? Ah…. Dadaku kembali terasa sesak.Bukan karena debu kamar kakek Nazam yang tebalnya dua senti, melainkan karena beliau yang malah menghilang di hari kepergianku.Aku pun masuk ke dalam kamar, berharap kakek Nazam ada di dalam kamar mandi ataupun di balik pintu kamar, yang mana kuyakin itu mustahil.Nihil.Beliau benar-benar menghilang.Kurasa, beliau pasti pergi ke kebun teh. Beliau juga suka berjalan-jalan di kebun teh, sama sepertiku.Kupandangi sekeliling kamar kakek Nazam sekali lagi. Berharap beliauakan muncul begitu saja seperti hantu. Jauh di dalam relung hatiku, aku tahu bahwa aku berharap akan melihat kakek Nazam untuk terakhir kalinya. Berharap bahwa kakek Nazam akan menasihatiku dengan kata-kata bijaknya yang seringkali memberiku jawaban atas permasalahan yang kuhadapi. Aku sangat membutuhkan beliau sekarang.Membutuhkannya untuk menunjukkan padaku mana jalan yang harus kutempuh.Apa yang harus kupilih, sebelum semuanya terlambat dan akan kusesali di kemudian hari.

Aku baru saja hendak keluar kamar, saat mataku tidak sengaja menangkap bayangan sebuah kotak di atas ranjang kakek Nazam.Kotak itu berwarna merah, dan diatasnya bertuliskan namaku.Kumiringkan kepalaku, menimbang-nimbang.Apakah kotak itu benar-benar ditujukan beliau kepadaku?Jika benar, mengapa beliau tidak memberikannya langsung dan malah meletakannya disini?Apa beliau tidak memikirkan kemungkinan aku tidak masuk ke kamarnya untuk mencarinya? Aku pun terkekeh pelan, geli sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalaku. Bagaimanapun itu, aku yakin kakek Nazam tahu bahwa aku akan masuk ke kamarnya. Beliau selalu dapat membaca gerak gerik dan pikiranku dengan tepat.Aku tidak sempat membuka atau bahkan mengintip isi dari kotak itu karena Nadin meneriakiku dengan suara cemprengnya dari luar rumah.Ia sudah memasukkan koper-koper yang sudah kupersiapkan dari kemarin ke dalam bagasi mobil.

Dan disinilah diriku sekarang, duduk di dalam mobil yang akan mengantarkanku ke gerbang menuju dunia baru. Jantungku berdetak dengan begitu cepat.Rasa cemas menjalari sekujur tubuhku seketika.Tanganku berkeringat walaupun di dalam mobil tidaklah panas.Kucubit pipi tembamku untuk menyadarkanku.Ayolah Jo! ini kan demi dirimu juga!Batinku.

“Nad… “ucapku lirih setelah beberapa menit penuh keheningan di dalam mobil.

“Ya??”

“Apa aku telah membuat keputusan yang tepat..? Untuk belajar di luar negeri…”

“Kamu kenapa sih? Tentu saja tepat! Kapan lagi kamu akan mendapatkan kesempatan untuk belajar di luar negeri dengan gratis?”

Mulutku terasa pahit.Ini salahku juga yang iseng-iseng mendaftarkan diriku ke sebuah program beasiswa studi ke luar negeri.Dan tidak kusangka, tiba-tiba saja aku sudah melewati semua tes penyaringan dan terpilih sebagai salah satu penerima beasiswa studi di Inggris. Kuhela nafasku kuat-kuat, berusaha untuk menguatkan diriku. Kulihat pemandangan kebun teh yang terlihat dari jalan raya Puncak.Tempat yang akan selalu kurindukan. Tempat dimana beribu kenangan indahku tersimpan. Aku tidak akan pernah merasa bosan memandangnya, berapa kali pun aku memandang perkebunan teh itu. Pemandangan yang tidak dapat digantikan oleh London Eye, Danau Victoria, ataupun Big Ben di Inggris.Perutku yang sudah penuh diisi sarapan langsung bergemuruh ketika melihat gemblong Pak Said yang dijajakan di pinggir jalan.Gemblong Pak Said adalah gemblong terenak yang pernah kumakan seumur hidupku. Mungkin aku akan merindukan gemblongnya saat sudah tiba di Inggris. Tidak akan ada gemblong Inggris yang dapat menandingi gemblong buatan Pak Said. Walau aku yakin bahwa aku tidak akan menemui satupun penjual gemblong di Inggris nanti.

Aku tersentak saat mengingat kotak pemberian kakek Nazam.Buru-buru kukeluarkan kotak itu dari dalam tas-ku.Menarik pita putih pengikatnya dengan hati-hati, dan kemudian memindahkan penutup kotak itu ke atas kursi mobil.Di dalamnya terdapat secarik kertas yang bertuliskan tulisan tangan kakek Nazam.Tulisan tangan bersambung miring dengan tekanan kuat di tiap awal kata yang merupakan ciri khas dari tulisan beliau.Mataku pun mulai mencoba untuk fokus agar dapat membaca kertas tersebut yang sedikit sulit dibaca akibat mobil yang terus bergerak.

Sebotol Susu Sapi

Alkisah, ada seorang peternak yang memutuskan untuk memerah sapinya untuk kemudian diolah susunya dan dijual. Setelah mempersiapkan segalanya, ia pun memerah susunya dan mendidihkannya di dalam sebuah kuali besar. Setelah selesai diolah, ia kemudian menuangkan susu ke dalam sebuah botol kaca besar yang ia beli di pasar sebelumnya. Diangkatnya botol susu itu tinggi-tinggi untuk melihatnya dengan bangga. Itu adalah susu yang merupakan hasil kerja kerasnya sendiri. Ia yang memelihara sapinya, memberi makan, membersihkan kandang, dan bahkan memandikannya hingga dewasa. Ia berpikir bahwa sekarang-lah saatnya ia akan menikmati jerih payahnya dengan menjual susu yang dihasilkan oleh sapinya. Karena terlalu lama memegang botol berisi susu mendidih itu, tangannya pun kepanasan dan melepuh. Ia pun dengan kesal, berhati-hati meletakkan botol susu itu di atas meja dan pergi mengambil sebuah baskom plastik. Ia kemudian menuangkan susu itu ke dalam baskom tersebut. Karena terlalu tinggi mengangkat botolnya, beberapa tetes susu pun tercecer keluar dari baskom. Ia mendecak kesal saat menyadari telah menyia-nyiakan beberapa tetes susu. Lalu ia mengangkat baskom tersebut dengan kedua tangannya dan mulai berjalan. Karena jalannya yang begitu cepat, baskom pun bergetar dengan hebat dan mengakibatkan banyak susu yang tumpah. Ia memekik kaget dan segera pergi berlari mengambil kantung plastik. Dengan hati-hati ia tuang sisa susu di dalam baskom ke dalam kantung plastik tersebut. Tidak ada satu tetes pun susu yang tercecer keluar. Ia tersenyum puas. Tak lama setelah itu, tiba-tiba kantung plastik itu pecah akibat tidak dapat menahan susu yang panas. Dan hilanglah semua susu yang ia miliki. Pria itu kemudian menangis, seraya berpikir, “Seandainya aku tetap membiarkan susu itu di dalam botol kaca-nya….” Namun, seperti yang kita ketahui, semuanya sudah terlambat.

Aku terenyak. Seutas senyuman terukir di wajahku tanpa kusadari.Kubaca lagi cerita itu dari awal. Berusaha meyakinkan diriku akan pesan yang ingin disampaikan kakek Nazam lewat ceritanya itu. Setelah berulang kali membaca, aku pun yakin sepenuhnya. Bulir-bulir air mata menggenang di pelupuk mataku.Rasanya seperti sebuah beban yang berat telah terlepas dari pundakku. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Apa yang terbaik untukku. Jalan yang benar untukku…

“Pak, tolong putar mobilnya, kita balik lagi ke Panti Linar ya..”pesanku pada Pak Hardi, supirku.

Ia dan Nadin pun hanya dapat terbengong-bengong melihatku yang setengah menangis, mereka hanya terdiam dan mengikuti permintaanku. Tatapan mereka padaku menyiratkan bahwa mereka mengira aku telah melupakan sesuatu yang begitu berharga di Panti Linar dan butuh untuk mengambilnya kembali…

Mungkin Nadin dan Pak Hardi benar.Aku memang telah melupakan sesuatu milikku yang sangat berharga dan tak dapat kucari penggantinya.

Jati diriku.

Aku meninggalkan jati diriku di Panti Linar.Bukan, aku nyaris meninggalkan jati diriku di negeri tercintaku. Layaknya susu panas yang hanya mampu disimpan di dalam botol kaca. Aku pun juga hanya dapat hidup di negeri tercintaku ini. Indonesia…

Aku memang dapat hidup di negeri orang. Namun, perlahan-lahan aku pasti akan kehilangan jati diriku sendiri. Aku akan kehilangan jati diriku sedikit demi sedikit hingga akhirnya kehilangan semuanya. Jika memang ada yang akan berubah setelah bertahun-tahun kepergianku, pastilah itu diriku…..

Layaknya syair lagu pusaka Tanah Air, tidak ada yang dapat menggantikan tanah airku, Indonesia. Walaupun banyak negeri elok lainnya… Indonesia adalah tanah kelahiranku.Rumahku. Jati diriku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun