Oleh: Syafrudin Budiman, Sarjana Ilmu Politik (SIP)*
Sebagai Sarjana Ilmu Politik dan pernah berkutat dengan diktat-diktat, makalah-makalah dan riset-riset politik, serta pernah terlibat dalam politik praktis sejak usia 19 tahun tepatnya th 1998 sampai sekarang, satu hal dalam politik yang saya sangat hindari, yaitu politik yang berhianat dan meninggalkan etika/moral politik. Senior-senior saya di kampus, baik gerakan intra maupun ekstra selalu menekankan bangunlah politik moral dan persaudaraan, walau berbeda tetaplah penuh santun dan tidak dengan jalan berkhianat.
Bagi saya siapapun Joko Widodo (jokowi), apa itu jokowi blusukan, jokowi santun, jokowi sang idola, jokowi merakyat atau jokowi pujaan rakyat... saya menilai jokowi hari ini adalah penghianat terhadap senior-seniornya, dalam hal ini kepada senior-senior partai yang mengusungnya sebagai Gubernur DKI.
Seharusnya, jokowi harus menghargai senior-seniornya dan rakyat yang telah memilihnya menjadi Gubernur DKI dan harus bersabar jika ingin menjadi presiden dengan menunggu 5 th lagi. Sebab bagaimanapun Prabowo Subianto adalah seniornya yang berjuang lewat ide, gagasan, waktu, tenaga dan bahkan harta untuk menjadikan dirinya sebagai Gubernur DKI berpasangan dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok).
Saya tidak membayangkan jika diri saya jadi jokowi yang begitu tega kepada Prabowo dengan malah menantangnya pada Pilpres 2014 ini. Seharusnya jokowi membantu Prabowo sebagai capres atau abstain saja jika tidak mau terlibat dukung-mendukung, malah jokowi hari ini menantang prabowo berhadap-hadapan.
Kemanakah etika/moral politik sesungguhnya, kemanakah dikau berada. Memang ada istilah dalam politik "tak ada kawan dan lawan yang abadi dan yang ada hanyalah kepentingan yang abadi." Istilah ini tidak lebih dari slogan kaum machiavelis yang mentuhankan politik tak bermoral dan politik penuh khianat.
Mungkin dalam perasaan hati nurani Prabowo sedih dan kaget ketika mendengar dan melihat jokowi maju menantangnya sebagai capres pada Pilpres 2014 ini. Mungkin hatinya luka tersayat-sayat melihat adik jokowi yang diperjuangkan mengajaknya bertinju dalam satu ring sempit dan menjepit.
Kalau saya (Syafrudin Budiman) menjadi Prabowo pasti tidak akan kuat melihat kenyataan ini, saya pasti galau, minder, keki dan bahkan apatis. Akan tetapi saya melihat sosok Prabowo tampak tegar, kuat, tidak emosional, tetap tersenyum dan penuh santun. Baginya majunya jokowi sebagai capres tidak lepas dari dinamika demokrasi yang tetap harus dihargai, dengan etika dan moral politik yang kuat (hard moral). Bahkan Prabowo dengan santun sering mengatakan, andaipun dirinya tidak terpilih dan tidak dikehendaki rakyat, dirinya akan menghargai dengan bijak. Siapapun yang terpilih adalah kader terbaik bangsa dan pilihan rakyat Indonesia.
Sebagai demokrat sejati Prabowo memulai karir sebagai pendiri partai dan pengurus partai dari bawah. Sebagai pensiunan jenderal berpangkat bintang dua dirinya, membangun partai sejak awal 2006 dengan mengorganisir dari desa ke desa, dari kampung ke kampung, dari kecamatan ke kecamatan, dari kabupaten ke kabupaten dan dari propinsi ke propinsi, sehingga akhirnya Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) lolos verifikasi Departemen Hukum dan HAM, serta verifikasi faktual KPU pada Pemilu Legeslatif (Pileg) 2009, dan lolos electoral threshold yang akhirnya bisa mengikuti pemilu kembali pada Pileg 2014.
Sebagai pendiri dan pengurus Partai Matahari Bangsa (PMB) saya juga merasakan pahit getirnya meloloskan PMB bersama teman-teman Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) untuk mendapatkan badan hukum partai politik dari kementerian Hukum dan HAM, dan lolos sebagai verifikasi faktual sebagai perserta Pileg 2009, namun pada Pileg 2014 PMB tidak lolos verifikasi faktual.
Turun ke basis rakyat, mengorganisir partai dari pertemuan ke pertemuan dan musyawarah ke musyarawah dilalui penuh keringat dan perjuangan. Hal ini menandakan cita-cita prabowo memiliki partai yang kuat dari bawah dan mengakar dari rakyat adalah sebuah keinginan yang mulia penuh romantisme demokrasi.
Pada Pilpres 2009 dirinya tidak bisa maju sebagai capres dan hanya menjadi cawapres Megawati Soekarno Putri Ketua Umum DPP PDI Perjuangan. Pilihan ini sebagai sikap realistis sebab partainya hanya memperoleh 5,6 persen pada Pileg 2014.
Sebenarnya Prabowo bisa memilih tidak maju sebagai cawapres dan bersikap abstain aktif, seperti Partai Demokrat pada Pilpres 2014 ini. Akan tetapi demi menghargai konstituen, para pemilih Partai Gerindra Prabowo menerima ajakan Megawati untuk menjadi cawapres. Sikap kemauan ini bagian dari etika moral politik agar PDI Perjuangan bisa memiliki tiket capres-cawapres pada Pilpres 2009. Bahkan dalam kesepakatan koalisi batu tulis itu ada komitmen politik yang secara etika moral politik belum bisa dipenuhi PDI Perjuangan. Hal ini menunjukkan bahwa sosok kebersahajaan dan kelegowoan Prabowo sebagai sosok politisi yang santun.
Dengan majunya jokowi sebagai capres, bisa dibilang Prabowo sudah ditikam dari belakang atau dihianati dan bahkan didzolimi. Kata pepatah orang Madura "sela etapo' ekala' odheng-nga," atau sudah dipukul mukanya, pecinya juga diambil paksa. Tetapi sampai saat ini menjelang coblosan, tidak tampak dirinya emosi atau geram dengan kejadian yang menimpa dirinya. Prabowo tetap menundukkan kepala penuh rasa hormat kepada pesaingnya, yang pernah dibesarkan olehnya.
Menurut saya politik selain penuh dengan etika moral juga harus penuh konsistensi atau istiqomah. Tetap teguh pada pendirian dan konsistensi tinggi. Sebagai politisi muda saya pernah menolak tawaran sogokan/suap 2 Milyar untuk mundur atau mencabut dukungan kepada salah satu kandidat pada Pilkada Jatim 2013 yang sudah secara bulat diatas kertas saya dukung. Tawaran itu saya tolak mentah-mentah demi menjaga moralitas politik dan politik yang penuh konsistensi.
Andai saja saya menjadi seorang jokowi, tawaran dan godaan menjadi capres akan saya tolak, sebagai wujud komitmen menghargai senior-senior yang sudah mendukungnya dan membesarkan namanya. kesabaran dalam proses kekuasan sangatlah penting demi etika politik yang nyata.
Jimly Asshiddiqie Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pernah mengatakan pada saya, saat bersaksi dalam sidang sengketa Pilkada Jatim 2013, tepatnya 27 Juli 2013 di ruang sidang DKPP. "orang yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum, orang yang melanggar hukum pasti melanggar etika, tetapi ketika kita melanggar etika orang akan diberi sangsi sosial pada masyarakat." Saya menilai jokowi sudah melanggar etika moral politik dan tentunya sebentar lagi akan menerima sangsi sosial dari masyarakat dengan tidak memilih pasangan capres-cawapres Jokowi-Jusuf Kalla dan malah memilih Prabowo-Hatta. Fastabiqul Khairaat, Salam.
*Penulis adalah Aktivis Mahasiswa Surabaya 1998-2006, Mantan Ketua PW Partai Matahari Bangsa Jatim, Ketua Umum Laskar Barisan Amanat Nasional (Laksamana).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H