Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ali Kaliyev dan Roman Nagarenko

4 Januari 2025   13:56 Diperbarui: 5 Januari 2025   16:01 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku banyak mengenal wisatawan asing di pulau Bali. Mereka datang dari berbagai negara di dunia. Selama bertahun-tahun, karena sering bertemu, aku menjadi peka mengenali asal usul kebangbangsaan orang-orang itu. Baik dari postur badan, warna kulit, maupun rambut mereka.

Sekitar 4 atau 5 tahun lalu (tidak pasti dalam ingatan), aku bertemu Roman Nagarenko. Seorang warga Ukraina. Mengenakan kaos berwarna jingga cerah, ketat membalut badan tegapnya yang berotot. Mengenakan celana jeans coklat susu panjang, sedikit longgar.

Roman bertanya dalam bahasa inggris yang tidak lancar, tetapi mudah bagiku memahami maksudnya.

Waktu itu, Roman bermaksud menggunakan jasa rental mobil miliku. Untuk penggunaan 2 hari, lepas kunci, kuberi sewa dengan kesepakatan Rp. 200.000,-. Roman menambahkan Rp. 200.000,- dan meminta aku langsung yang menyopirinya. Aku bilang ada driver khusus. Roman meng-oke-kan saja.

Mengingat lokasi tujuannya, daerah wisata pavorit, hitung-hitung mengambil rehat.  Sejenak menjauh dari kebisingan di pusat kota Bali, maka kurelakan diriku menjadi sopir, menuju ke selatan Kota. 

Langit Kota Denpasar berwarna kelabu gelap, ketika mobil kulajukan ke arah Kabupaten Kuta Utara. Di sepanjang jalan, nampak gumpalan-gumpalan awan tipis membawa mendung.

Sejak meninggalkan jalan nakula, hingga beberapa menit hampir tiba di jalan pemelisan agung, Roman Nagarenko tidak banyak bicara. Hanya sesekali, memberi isyarat jika laju kendaraan berjalan dalam kecepatan tinggi. Si Ukraina ini, sepertinya seseorang yang penuh kewaspadaan.

Tetapi, dengan seseorang di smartphonenya, Roman bicara tanpa jedah panjang. Kedengarannya sangat cerewet dan mendominasi lawan bicaranya, yang entah di mana. Mereka memakai bahasa Ukraina sangat pasih. Aku tidak banyak perduli arti bahasa mereka.

Hanya kupandangi, titik-titik air hujan yang berjatuhan di atas kaca mobil. Ada gerimis. Tiba-tiba ada kilatan api memanjang di awan kelabu yang juga makin menebal. Sedikit ada rasa cemas yang menggelayut. Apakah segera akan datang petir menyambar dan hujan lebat di Kuta Utara? Bulan november di Bali memasang sedang memasuki awal musim penghujan.

"Stop, stop ..." Roman menunjuk ke sebelah kiri ke sebuah gerbang perumahan. Di depan sebuah dinding bertuliskan "Villa Matahari", aku hentikan kendaraan.

Roman memandang kiri dan kanan dalam mobil. Merabah-rabah kedua kantong belakang dan depan celananya. Meraih sebuah tas tangan kulit berwarna hitam, yang tergelatak disampingnya. Dia sedang memastikan tidak ada yang tertinggal, ketika meninggalkan mobil.

Seorang wanita berambut halus agak kemerahan sedang menunggunya, di loby kantor perumahan villa matahari. Dari balik kaca, mereka nampak sedang berbicara satu sama lain, sambil berdiri. Tangan keduanya saling begerak. Telapak tangan mereka bolak-balik di udara. Saling terseyum satu sama lain. Sesekali, tampak tertawa senang. Beberapa saat kemudian, wanita itu mempersilahkan Roman duduk di sebuah kursi kayu antik dalam ruangan yang berdidinding kaca.

"Disitu aku terakhir melihat wajah si Ukraina ini", kataku kepada Ali Kaliyev, seorang warga Rusia. Aku sedang basah-basih perkenanalan saja.

Menceritakan seorang warga Ukraina yang pernah aku kenal. Aku menceritakannya, karena sedang hangat berita perang antara Rusia dan Ukraina. Ali Kaliyev sama sekali tidak menanggapi ceritaku tentang orang Ukraina itu.

"Saya sudah hampir dua minggi di Indonesia. Saya tiba di Jakarta tanggal 5. Langsung dijemput oleh kerabat seorang sahabat Indonesia saya di Rusia. Sahabat saya itu seorang tenaga kerja asing di sana. Saya minta diantar ke Hotel, tapi kerabat sahabat Indonesia saya ini, sudah menyiapkan rumahnya untuk isterahat," cerita Ali Kaliyev dalam bahasa inggris dialek Rusia.

Ini adalah kunjungan pertamakali Ali Kaliyev di bumi pertiwi Indonesia. Menurut pengakuannya, dia menyukai berlibur setiap tahun di negara-negara muslim. Setiap liburan tahunan itu, ia sering membawa serta istri dan anaknya.

"Kami menyukai berwisata spiritual bersama keluarga. Melihat-lihat dan mengambil pengetahuan dan keberkahan dari tempat-tempat bersejarah dan disucikan oleh kaum muslim di berbagai negara. Kami mengunjungi makam-makam para waliyullah dari tariqah Naqsyabandiyah. Seperti ke kota Tashkent dan Samargand di negeri Usbekistan. Kebetulan tidak terlalu jauh dari negeri kami. Bersiarah ke makam  Syah Bahauddin Naqsybandi dan makamnya Syekh Abdul Khaliq al-Ghujdawani di Ghujdawan, dekat Bukhara. Pernah juga ke Yaman dan Pakistan, bahkan Negara India dan Srilangka, negeri tempat turunya nabi Adam AS." Ali Kaliyev sedikit berpanjang-lebar mengenai kunjungan wisatanya di beberapa negara Islam.

"Kemarin di Jakarta, saya mengunjungi Masjid Itiqlal. Ziarah ke makam tokoh penyebar Islam di Batavia, Habib Abdurrahman di Cikini. Ke masjid Luar Batang, dan ziarah ke makam salah seorang alim ulama besar, Al-Habib Husein Alaydrus. Yang sebenarnya tujuan utama saya, mengunjungi maqam wali songo yang sangat terkenal itu," lanjut Ali Kaliyev.

"Saya mengunjungi sekolah Islam at-Taufiqy untuk juga ziarah ke makam Syekh Abdullah al-Khani, khalifah dari Syekh Abdul Khalid al-Baghdadi, salah seorang pendiri tariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah. Lalu ke sekolah Islam Suryalaya di Tasikmalaya, sekaligus ziarah ke makam Shohibul Wafa Tajul Arifin, Mursyid Tarekat Qadiriah wa Naqsybandiyyah. Keduanya pernah dikunjugi ulama sufi asal Turki, Sultan Awliya Mawlana Syekh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani tahun 2001," Ali Kaliyev sangat fasih menyebut nama pesantren yang ada di Pulau Jawa itu, sekaligus nama ulama-ulamanya.

Kadangkala jika ketemu wisatawan asing yang ingin menggunakan jasa rental mobil, aku tidak ambil pusing mengenai cerita panjang lebar mereka. Aku hanya berfokus ke tujannya kemana, berapa lama pemakian mobil, lepas kunci atau ditemani driver.

Tapi tidak dengan Ali Kaliyev. Aku senang-senang saja, dan memperhatikan ceritanya. Beberapa turis cerewet, suka memuji-muji kehebatan negara asalnya, terutama turis dari negara Paman Sam.

 "Ke Indonesia ini, saya datang sendiri," Kata Ali Kaliyev lagi.

"Saya tidak membawa keluarga. Karena rencana hanya sebentar saja. Sisa liburan nanti kami akan gunakan di rumah, disana di daerah asal kami di Dagestan. Kebetulan ada acara keluarga. Asul-usul masyarakat muslim Rusia adalah dari wilayah Dagestan. Sekarang Dagestan menjadi republik yang otonom dalam negara federasi Rusia, "... kata Ali Kaliyev, namun terpotong.

Entah mengapa aku langsung memotongnya, dengan tiba-tiba bertanya, "Apa mahsab orang Islam di Rusia?

"Syafii, mahsab Syafii. Tapi Islam Dagestani itu berkembang dalam bentuk khalaqah sufisme, melalui tariqah Naqsyabandiyah. Dan itu sangat mempegaruhi pemerintahan repulik Dagestan, hingga hari ini. Keluarga besar kami, kakek-kakek buyut secara turun temurun mempraktikkan ajaran Syah Bahauddin Naqsybandi. Dalam ibadah keseharian, kami menganut mahsab Syafii" jawab Ali Kaliyev dengan lanjar.

Aku seperti tidak sadar. Meminta Ali Kaliyev masuk ke ruang tamu rumahku, yang ada di samping kiri. Biasanya tamu calon kostumer, hanya aku layani di ruangan kantor rental mobil. Tidak lebih.

Ali Kaliyev nampak segan menerima tawaran itu. Namun dengan aku sedikit memaksa. Akhirnya Ali Kaliyev masuk dan duduk di kursi ruang tamu.

Tidak seperti biasanya tamu yang berkunjung kerumahku. Ali Kaliyev tidak memandang kiri dan kanan. Ataupun medongak, untuk menelisik lukisan Bali di dinding dan beberapa benda antik khas Bali, yang terpajang dan tertata rapi.

Hiasan itu, sebagai pemanis ruangan tamu. Juga untuk melestarikan budaya sebagai masyarakat Bali. Istriku termasuk pencinta barang-barang seni. Dan seorang menghobi benda-benda kuno. Aku sendiri lebih banyak tenggelam dalam kesibukan bisnis rental mobil.

Ali Kaliyev tenang saja. Duduk tanpa ada reaksi terhadap lukisan Bali klasik mengenai epos Ramayana. Lukisan yang biasanya banyak dipuja-puji wisatawan. Keramik berupa guci dan piringan. Bahkan ada keris antik, yang berkaitan sejarah kerajaan-kerajaan di Bali. Ali Kaliyev hanya memandangnya sepintas lalu, tanpa komentar.    

Aku berpikir Ali Kaliyev datang ke Bali, bukan karena 'keistimewaan' itu. Atau keindahan pulau dewata semata-mata. Tetapi mungkin karena kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam agama, tetapi hidup dalam kerukunan yang terjaga.

"Saya ingin berkunjung ke Desa yang penduduknya beragama Islam di sini. Menurut cerita sahabat Indonesia saya, mereka hidup berdampingan dengan masyarakat yang mayoritas beragama Hindu, di Bali ini, " Ali Kaliyev menunjukkan minat wisatanya ke Bali.

"Silahkan dicicipi, Tuan Ali," kataku sebelum menanggapi keingiannya.

Aku menujukkan kepadanya segelas es kuwut segar yang terhidang dihadapannya. Es kuwut itu aku pesan diam-diam melalui istriku di dapur, tadi.

"Alhamdulilah, segar sekali. Manisnya lembut. Dan, alhamdulillah ... aku pertamakali mencicipi minuman seperti ini. Minuman apa namanya, gurih.." Ali Kaliyev meneguk dan menyendok berkali-kali minuman itu, secara perlahan ke mulutnya.

"Alhamudlilah," katanya sekali lagi. Aku mengangguk dengan senyuman senang kepadanya.

"Semoga Allah SWT, memberikan banyak rahmatNya kepada anda dan sekeluarga", kata Ali Kaliyev lagi, sebelum sempat aku menimpalinya.

"Itu minuman kuwut namanya kalau di sini. Sejenis minuman khas tradisional Bali. Hanya saja ini dicampur dengan sedikit es, jadinya es kuwut. Ada namanya minuman tambring, daluman, ada juga arak, bir Bali (non alkohol), ancruk loloh dan cemcem, juga kopi Bali," jawabku lancar menjelaskan ragam minuman tradisional Bali. Sudah menjadi kebiasaanku jika berhadapan turis-turis asing.

"Yaa, Bali sangat dikenal dunia dengan keindahan alamnya. Masyarakatnya juga yang masih memegang teguh adat-istiadatnya dalam keseharian mereka. Saya banyak info dari teman Indonesia saya, mengenai Bali", katanya menimpali perkataanku.

Kesannya ingin memuji es kuwut yang sudah berkurang hampir setengah di mangkuknya. Dan mungkin juga bermaksud berterimakasih untuk menyenangkanku.

Tetapi terus terang saja, sosok Ali Kaliyev dalam persaanku memiliki 'keistimewaan' tersendiri. Aku selalu merasa senang ingin melayaninya. Sejak perhadapan dengan wajahnya yang 'seperti' mengandung aura kebaikan. Bahkan suaranya, ketika sedang berucappun, rasanya menembus hati. Aku terhipnotis.

"O ya, Tuan Ali, mengenai maksudnya hendak berkunjung ke Desa muslim ..., Di Kabupaten Buleleng, Bali bagian utara, memang ada sebuah Desa yang penduduknya banyak beragama Islam. Desa Pegayaman namanya. Tradisi masyarakat Islam di Desa itu telah menyatu dengan budaya lokal, misalnya tradisi maulidan, hari lebaran dan acara-acara Islam lainnya. Biasanya tradisi itu berlangsung dengang saling bergotong royong antara pemeluk agama disana. Kalau di sini, di Bali namanya tradisi Ngejot", kataku kepada Ali kaliyev, mencoba memberikan penjelasan. Aku berusaha menggunakan bahasa Inggris yang sedikit formal.

Berharap dia mendapat gambaran tentang Desa Pegayaman di Kecamatan Sukasada itu. Agar makin besar ketertarikannya untuk berkunjung. Saya juga merasa aneh dengan motif wisata Ali Kaliyev ini, jika dibandingkan dengan turis lain. Selama aku banyak berinteraksi dengan wisawatan mancanegara, tidak pernah menerima order untuk tujuan wisata semacam minat Tuan Ali ini.

"Tuan Ali, aku yang akan menemani langsung anda berkunjung kesana. Saya geratiskan biaya driver dan fee sewa kendaraan. Cukup beli bahan bakar bensin saja selama kunjungan, pergi dan pulang. Dan, di sekitar wilayah Buleleng ada teman pemilik villa, yang bisa kita gunakan untuk penginapan beberapa hari. Garansi sewa villanya, cukup bayar dengan standar pertemanan saja, tuan Ali," kataku serius.

Aku menawarkan jasa ringan kepada Ali Kaliyev. Yang aku telah 'seperti saudara' dengannya, walau hanya dalam pertemuan singkat. Aurah kepribadian yang memancar dari dirinya, sekali lagi mendorongku bermurah hati kepadanya.

Ali Kaliyev terdiam cukup lama. Lalu menatapku dengan lembut. "Alhamuddulillah, Tuan Wayan anda baik sekali. Saya tidak tahu bagaimana berterimakasih, anda telah menerima saya layaknya saudara. Jamuan di rumah pribadi anda dan tawaran layanan bisnis yang sangat memudahkan urusan. Saya berdoa semoga Allah SWT, memberikan bayak rahmat kepada anda dan keluarga anda, dan banyak berkah dengan perusahaan anda ini," Ali meraih tanganku dan menyalaminya.

"Jika boleh, siang ini kita berangkat. Saya akan kembali ke hotel untuk cek out, setelah itu kita langsung menuju ke apa itu.. Bu le leng, di Desa itu," kata Ali Kaliyev, mencoba mengingat nama-nama daerah yang aku sebutkan tadi.

Dari kota Denpasar ke Buleleng, jika perjalanan normal, dapat ditempuh 2,5 jam. Tapi jika ramai kendaraan di jalan, bisa 3 sampai 4 jam perjalanan. Banyak lajur yang bisa ditempuh menunju ke wilayah bagian utara Bali itu.

Jalur klasik dan yang umum. Jalur umum menempu Singaraja-Bedugul, lewat Kintamani. Yang kalsik, lewat Petang (jembatan Tukad Bangkung), konon, jembatan terpanjang di Bali dan tertinggi se Asia Tenggara.

Aku memilih jalur umum untuk saudaraku Ali Kaliyev, yang kali pertamanya ke pulau Bali.

Selepas waktu shalat dhuhur, dan setelah menikmati sate lilit dan bebek bengil, hidangan pesanan istriku, kami meninggalakan kota Denpasar menuju Buleleng. Langit Kota Denpasar cukup cerah, ketika kami meninggalkannya.

Kurang lebih 1,5 jam perjalanan menempuh jalur Denpasar-Kintamani, mobil aku tepikan di sebuah kedai kopi pinggir jalan, dekat danau. Hampir jelang sore, kabut tipis menaburi bukit-bukit kecil di sekitar danau. Hembusan udara sejuk, menghilangkan penat perjalanan. Kami memasan kopi hangat khas kintamani.

Ali Kaliyev sangat menikmati. Raut wajahnya tidak berubah sejak awal perjalanan, tetap cerah dan segar. Seolah seluruh wajahnya adalah seyum kebahagiaan.

"Pemandangan alam di Bali memang Indah, masyaAllah," kata Ali Kaliyev sambil mengangkat cangkir, untuk menyeruput kopi hangatnya. 

"Daerah ini namanya Kintamani, danau yang sebelah sana itulah danau Batur. Daerah ini, dijuluki daerah berselimut kabut, terutama bulan november dan desember. Ini juga danau terluas di pulau dewata atau pulau Bali. Gunung yang sebela kiri itu, namanya gunung Batur. Sebelahnya lagi gunung Agung. Seperti dua gunung kembar kan?" kataku sambil tersenyum dan menunjukkan arah tempat-tempat itu.

Sesekali Ali Kaliyev beranjak meninggalkan kedai. Di luar, dia nampak sedang mengabadikan dengan smartphonenya, hamparan danau dan dua gunung yang sedang berbaring disisinya, berselimut kapas putih yang tipis.

"Ini wilayah pegunungan di provinsi Bali Utara. Sebentar kita akan sedikit berbelok arah selatan melewati daerah Kubutambahan di Boengkoelan. Kita bisa juga, melihat pemandangan laut disitu, sebentar. Hanya sedikit melalui pesisir pantai, pendek saja," kataku lagi.  Kami berusaha tiba di wilayah tujuan Ali Kaliyev sebelum malam tiba.

"Mungkin sekitar 2 jam lagi dari sini kita akan tiba di Desa Pegayaman. Kita akan berbelok lagi, masuk ke arah pegunungan di Buleleng Utara." Lanjutku sambil menyelesaikan beberapa tegukan akhir kopi Kintamani yang tersisa dalam cangkir.

Udara dingin rasanya sudah hampir menusuk ke tulang, ketika kami tiba di gerbang Desa Pagayaman Kecamatan Sukasada. Gelap mulai merambah kebun-kebun warga. Beberapa pura besar dan kecil kami lewati, sepanjang perjalanan. Kami tidak bisa mengenali waktu melalui suara masjid.

Namun beberapa menit berselang, tampak sebuah masjid di ujung Desa, tidak jauh dari gerbang. Sedang membunyikan shwalat  jelang azan magrib.

"Kita boleh singgah di mesjid itu, mungkin saya akan shalat magrib disitu", kata Ali Kaliyev tiba-tiba, saat mobil melintas depan bangunan ibadah warga Islam di Desa Pagayaman.

Aku senang dengan permintaan itu. Agar suadara Ali Kaliyev bisa merasakan langsung obyek wisata yang diinginkannya ini. Berkunjung ke Desa Islam di pulau Bali.

Sebuah bagunan ibadah muslim. Gerbangnya berarsitektur khas Bali, tapi mesjidnya bangunan khas Jawa kuno. Beberapa warga sekitar nampak mulai berdatangan, untuk mengerjakan shalat magrib berjamaah. Ali Kaliyev juga sedang tekun membasuh muka dengan air wuduhnya.

Setelahnya, Ali Kaliyev tidak langsung masuk ke dalam masjid. Dia menyempatkan diri memandang-mandang di sekitar masjid. Mengamati warga yang sedang berduyung melangkah mendekati masjid. Kamera smartphonenya dia aktivkan sesekali, mengabadikan momen dan keadaan yang dia perhatikan.

Suara azan mulai dikumandangkan dari dalam masjid. Suaranya kedengaran nyaring dari toa yang bertengger di menara, depan kanan masjid.

Ali Kaliyev juga bergegas masuk. Beberapa mata jamaah masjid sering memandang ke arahnya. Memperhatikan sekujur tubuh Ali Kaliyev. Mungkin mereka bertanya, orang asing dari mana?

Setelah selesai berjamaah. Beberapa orang meninggalkan masjid. Lainnya, masih tinggal. Ada yang sedang duduk sendirian, memegang tasbih yang berputar-putar diantara telunjuk dan ibu jari. Ada yang membaca al-Quran, suaranya halus, nyaris tidak kedengaran.

"Assalamualikum mister!" sesorang menyapa Ali Kaliyev dan menyodorkan tangan untuk bersalaman. Salam itu dibalas Ali Kaliyev, dan menyambut tangan sang penyapa.

Aku langsung mendekat keorang tersebut. Ternyata imam jamaah sholat magrib tadi. Kami saling berkenalan dengan bahasa daerah Bali. Aku menjelaskan siapa dan maksud kedatangan wisatawan yang aku bawah ini.

Beliau menyebutkan namanya Ketut Ahmad Suharso. Salah seorang tokoh agama dan tokoh masyarakat di Desa Pagayaman dan sekaligus imam di masjid ini.

Kami duduk-duduk sejenak. Pak Ketut atau bisa juga dipanggil Pak Harso, banyak menceritakan sejarah asal usul masyarakat Islam di Desa Pagayaman. Sebuah buku diambilnya dari dalam rak masjid. Diperlihatkan kepada kami. Buku tentang sejarah Desa Pagayaman, yang beliau sendiri sebagai pengarangnya.

Ali Kaliyev sangat senang mendapat penjelasan dari Pak Ketut, ketika kusampaikan ulang apa yang dijelaskan oleh pak Ketut dalam obrolan itu.

"Saya bermaksud mengundang bapak-bapak  ke kediaman saya. Kita lanjutkan mengobrolnya di rumah saya, bisa lebih pajang lebar tentang Desa Pagayaman," pak Ketut menawarkan diri sebagai tuan rumah untuk kunjungan.

Dirumah Pak Ketut, kami disuguhi kopi hitam gula aren dan kudapan khas Bali. Gorengan pisang tanduk dan kue pisang rai. Pajang lebar Pak Ketut mengurai sejarah keberadaan orang-orang Islam di Desa Pagayaman. 

Usai shalat berjamaah isyah di masjid yang sama, kami bertiga menikmati suguhan makan malam ibu Luh Gede Mardewati istri Pak Ketut. Obrolan macam-macam tentang sejarah, dan tradisi nyawa salam (warga/saudara muslim) Desa Pagayaman, berlanjut hingga malam hampir larut. 

Bermula dari sebuah sumpah Ki Barak Panji Sakti, raja Buleleng untuk menaklukkan wilayah kerajaan Blambangan, wilayah Jawa Timur. Dengan bekerjasama Kerajaan Mataram Islam Jawa Tengah yang dipimpin Raja Amangkurat 1, abad 16.

Akhirnya Blambangan jatuh ke tangan I Gusti Anglurah Panji Sakti, Raja Buleleng. 100 orang laskar tentara muslim yang telah membantu, dibawa dari Blambangan. Diberi pemukiman di wilayah hutan gatep, kemudian diberinama Desa Pegayaman. Nama itu dari kata 'gatep' yang maknanya sama dengan 'gayam' dalam bahasa Jawa.

Agin sepoi kadang datang menyapa melalui jendela kayu yang terbuka. Menyelusup ke ruang tengah rumah. Cerita panjang pak Ketut aku simak seksama, ditemani suasana senyap Desa yang sunyi. Ada suara burung malam kadang-kadang melintas di langit gelap. Suara jangkrik yang mengkrikik sekali-kali, memecah sunyi.

Aku seolah terbawa pada sebuah kisah panjang, masyarakat Islam di pulau Dewata di Desa Pagayaman ini. Dan mulai memahami mengapa Ali Kaliyev ingin berwisata 'aneh' ke Bali. 

Sesekali Ali Kaliyev menyelah, "Islam, rahmatan lilalamin", dalam obrolan.

Akupun tidak lagi perlu menghubungi sahabatku pemilik villa. Dengan rasa hormatnya yang tinggi kepada Ali Kaliyev, seorang muslim Rusia yang sengaja berkunjung ke Desanya, Pak Ketut merelakan satu bangunan home stay miliknya, untuk kami gunakan isterahat malam ini. Bahkan selama yang dibutuhkan tuan Ali Kaliyev, selama ia di Desanya. Tanpa perlu bayar sewa inap.

Aku sampai membatin: apakah juga Pak Ketut tersihir oleh 'penampakan agung' wajah Ali Kaliyev. Entahlah, aku belum sanggung menjawab pertanyaan batinku ini.

"Sayangnya belum masuk perayaan maulid, lebaran idul fitri atau idul adha. Bapak-bapak bisa melihat langsung tradisi nyawa salam di Desa ini. Dimana kami antara pemeluk agama yang mayoritas dan minoritas bergotong royong dalam perayaan yang meriah dan hikmat," kata Pak Ketut menutup obrolan yang menyenangkan, di malam sunyi dan dingin itu.

Keesokan sorenya, setelah Ali Kaliyev diajak berkeliling menikmati suasana kehidupan pedesaan. Kami berpamitan dengan rendah hati kepada Pak Ketut dan keluarganya.

Kabut senja mulai turun saat mobilku sudah hampir setengah jam meninggalkan gerbang Desa. Meninggalkan Desa sejuk itu. "Kita ambil jalur singkat menuju kota Denpasar," kataku kepada Ali Kaliyev.

"Mungkin kita akan tiba agak larut di Kota.., " balik kata Ali Kaliyev lalu terpotong, seolah sedang bertanya.

"Tidak terlalu larut malam, mungkin kita bisa tempuh waktu 2 jam saja. Tidak melingkar seperti waktu kita datang. Kita akan lewat jalan lain, jalur Begudul. Kalau malam, kendaraan juga biasanya agak sepi di jalan-jalan protokol. Kecuali kalau masuk kota Kabupaten, mungkin melambat lagi. Hanya saja, tuan Ali tidak bisa menikmati pemandangan indah sepanjang jalan karena suasana malam," jawabku sambil tertawa ringan.

"Sebenarnya kita akan melewati dua danau. Danu Buyan di Wanagiri dan danu Beratan di Bedugul. Juga sebuah perbukitan hutan palah yang lebat, di daerah Sangeh," sambungku menjelaskan rute kembali ke Kota Denpasar.

Saat malam menjelang pukul 21.00, mobilku telah melewati batas kota. Dalam mobil, aku dan Ali Kaliyev sedikit terlibat 'perdebatan' soal tempat menginap malam ini, di Denpasar.

Ali Kaliyev menghendaki langsung diantar kembali ke hotel tempatnya semula. Sementara aku, sudah meminta istriku untuk menyiapkan kamar di lantai dua untuk Ali Kaliyev, sampai ia bertolak pulang ke negaranya. Meski nampak keberatan, Ali Kaliyev akhirnya menerima permohonanku.

Visa kunjungan sekali pakai yang digunakan Ali Kaliyev ke Bali, memang masih tersisa 10 hari lagi. Tetapi dia harus meninggalkan Indonesia, besok. Ia mengejar sisa libur tahunannya untuk berkumpul di Dagestan, dalam hajatan keluargan.

Sarapan pagi bulung buni, kopi manis Bali dan camilan jeje lukis menjadi menu perpisahanku dengan Ali Kaliyev. Pukul 11.00 Aeroflot airlines akan membawanya langsung ke bandara Vnukovo.

"Vnukovo itu bandara internasional, sekitar 15 kilo meter dari pusat kota Moskow", kata Ali Kaliyev.

"Saya akan mengenang-ngenang kebaikan saudaraku ini, Wayan Darmawan. Mengenang keindahan pulau Bali, Jakarta, Jawa dan Indonesia, selama 12 jam dalam penerbangan ke Moskow,"Ali Kaliyev menjabat tangan dan merangkul pundakku.

Di terminal Internasional bandara I Gusti Ngurarai, terakhir kalinya aku melihat telapak tangan Ali Kaliyev, melambai tanda berpisah. Lalu ia membalik badan dan menghilang di balik lorong menuju pintu pesawat.

Aku seperti telah menemukan seorang yang entah "dari mana", telah menjadi saudaraku dalam waktu sekejap. Masih ingin rasanya bersama dia berkeliling di Pulau Bali.

Wajah teduhnya yang memancarkan 'keperibadian misterius' membuat hati ingin selalu bertemu denganya. Betul-betul dalam hati aku merasa, saudaraku itu telah meninggalkanku. Aku seperti kelihangan sesuatu.

Dua hari setelah Ali Kaliyev meninggalkan Bali, seperti biasa aku tenggelam kembali dengan rutinitas bisnis rental mobil. Hampir 5 hari aku sibuk dengan urusan saudara Rusiaku itu.

Duduk di belakang meja kerja, aku memandang berita di layar kaca TV. Terkabar: pihak kepolisian negara Indonesia menangkap seorang gembong narkoba asal Ukraina, di negara Thailand. Orang itu adalah otak clandestine laboratorium narkoba dan ganja hidroponik yang beroperasi di Bali. Mataku fokus ke wajah tersangka.

"Roman Nagarenko," perasaanku berucap. Wajah itu mengingatkan seorang turis yang aku antar ke villa matahari di Kuta Utara, 4 atau 5 Tahun lalu.

Aku menginggat persis raut wajah itu. Hanya saja kini, wajah klimisnya yang dulu, berubah brewokan, sebagiannya mulai memutih. Rambutknya acakan.

"Yaa.. Roman Nagarenko si Ukraina," ingatan perasaanku memastikan kebenaran dari wajah gembong nakotika yang di tangkap di Thailand itu. Sejenak aku terkesima dengan berita itu. 

"Roman Nagarenko datang ke Bali, untuk ...," batinku taksanggup meneruskan.  

Terngiang tiba-tiba wajah saudara Rusiaku, Ali Kaliyev. Wajah yang "penuh pancaran cahaya kebaikan". Namun mataku menatap wajah Roman Nagarenko. Kusam rautnya membayang wajah kematian, dalam hukuman mati.  

"Andai saja engkau masih di sini saudaraku Ali Kaliyev, akan aku lanjutkan ceritaku, saat awal kita berjumpa sepekan lalu". Bantinku dicampur aduk dua wajah asing yang berbeda.

"Pulau Dewata, engkau telah kedatangan manusia asing yang berbeda wajah, Oh..", gerutu batin membawa aku kerelungnya paling dalam.

Diriku terhempas pada sandaran kursi. Nafasku tertarik dan terhembus panjang.

SM. Januari 2025. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun