Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Absurditas Kemerdekaan Sebagai Nostalgia

17 Januari 2024   09:51 Diperbarui: 17 Januari 2024   10:01 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pngtree.com/free-backgrounds-photos/

ADAKAH sesuatu itu betul-betul merdeka, atau hanya sekedar membiaskan cahaya Kemerdekaan dan boleh berarti tidak merdeka sepenuhnya. Kalaupun sesuatu itu disebut merdeka, kapan hal itu terjadi! Apakah saat sesuatu itu bebas melakukan keinginannya atau saat tidak adanya hambatan untuk menentukan sendiri keputusannya. Dan benarkah bahwa mahluk yang disebut kemerdekaan itu betul-betul ada dalam atmosfir kemerdekaan kita? Sekiranya ada bagaimana kita mendefenisikannya dan apa tafsiran kita tentangnya.

            Pertanyaan-pertanyaan tentang konsep kemerdekaan telah menjadi sarapan pagi para filosof, makanan siang bagi ilmuan dan mungkin menjadi tema-tema diskusi bagi seniman diwarung kopi, dan kemerdekaan tetap saja menjadi dirinya sendiri yang merdeka meskipun kita telah mengambil kesimpulan tentang kemerdekaan itu namun tidaklah memadai karena akan berbenturan dengan Realitas yang sebenarnya. Akhirnya perdebatan tentang kemerdekaan akan membuat kita jatuh dalam ruang-ruang dilemma epistemology, karena kita mencoba mengkongkritisasi kemerdekaan yang memang dari sononya memang sudah abstrak.

            Abstraksi kemerdekaan mungkin menjadi titik ulang absurditasnya, dan kemerdekaan yang kita nikmati, yang kita miliki atau yang kita rebut dulu dari tangan kolonial adalah kemerdekaan yang telah mengalami distorsi. Kemerdekaan kemudian menjadi produk kultural yang diwariskan dari generasi ke generasi yang lain untuk dirawat, diawetkan atau sekedar untuk sebuah kenangan masa silam. Perjalanan bangsa kita pasca kolonialisasi bukanlah perjalanan merdeka yang sejati, karena kemerdekaan telah mengalami degradasi nilai menjadi kesepakatan sosial untuk mengusir penjajah, merebut kembali simpul-simpul kekuasaan dan mengisi sejarah tanpa tekanan lagi dari politik-kekuasaan kolonialisme.

            Kemerdekaan sesungguhnya bukanlah kesadaran politis, kesadaran ideologis, bukan pula kesadaran yang diperalat menjadi semacam jiwa dari sebuah nasionalisme untuk perjuangan merebut, mengisi dan menikmati hasil-hasil perjuangan yang disebut kemerdekaan itu. Sepanjang sejarah perjalanan bangsa kita yang dibangun dari kerangka kesadaran kemerdekaan model seperti itu pernahkah rakyat, manusia-manusia kebudayaan Indonesia benar-benar dalam kekuasaan sempurna menikmati alam kemerdekaan sejarah itu atau bahwa itu tidak lain tipuan media sejarah belaka.

            Mungkin kita bisa berkata bahwa generasi kita telah bebas menikmati pendidikan dalam rangka proses pencerdasan bangsa dan kesejahteraan ekonomi, bahwa generasi kita bebas menentukan nasibnya sendiri karena telah tersedianya alternatif-alternatif harapan, bahwa meraka berhak berpartisipasi penuh dalam rangka pengisian kemerdekaan sejarah dan bahwa mereka telah menjadi anak-anak bangsa yang selalu dalam jaminan rasa aman, perbaikan mutu kemanusiaan, perbaikan taraf hidup dan kebebasan ekspresif-kreatif oleh negara kekuasaan dan pemilik sejarah kemerdekaan.

            Tetapi apa yang kita saksikan dan kita catat dalam tontonan sejarah setelah pengusiran penjajah dan terbentuknya sebuah negara baru yang kemudian diberi nama Indonesia, lembaran sejarah pergantian kekuasaan dari satu rezim ke rezim lainnya, kondisi sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan hukum yang berbeda dari file sejarah ke file sejarah yang lain, benarkah bahwa itulah cerminan kemerdekaan yang telah kita tanam dan cita-citakan secara politis dan ideologis dari sebuah fase waktu saat kita berada dalam kekejaman penjajah, dalam dera derita fisik dan mental serta air mata untuk sekedar menyaksikan matahari pagi bersinar di luar penjara kolonialisme dan dalam dendam rindu kebebasan?

            Kemerdekaan dalam pemaknaannya yang murni tidak lain adalah jiwa, kehendak spirit, proses pemanusiaan nafsu hewani dan proses pengilahiyaan jiwa kemanusiaan untuk kesempurnaan kebebasan diri dari dimensi-dimensi profan menuju jagad kerohanian yang religius. Kemerdekaan dalam terminology manusia-manusia suci seperti para penempuh jalan spiritual (sufi) diartikan sebagai terbebasnya manusia dari kondisi setaniahnya masuk dalam kondisi malakutnya. Disini kemudian kemerdekaan itu begitu abstrak dan kebanyakan dari kita menganggapnya absurd, karena absurd kita memilih saja kemerdekaan yang lahir dari kesepakatan social yang tercipta dari rahim kebudayaan atau sebuah kehendak yang didesakkan oleh  negara atau penguasa politik dengan bungkusan intelektualitas yang menggoda.

            Makna kemerdekaan yang demikian abstrak dan memiliki peluang untuk disebut absurd, sulitlah diterapkan dalam konteks sejarah kemerdekaan bangsa kita yang nota bene terangkai dari ikatan-ikatan politis dan ideologis yang kemudian melakukan metamorfosis menjadi sebuah gerakan pembudayaan dengan paradigma nasionalisme, kemerdekaan dalam kaitannya dengan ideologis politik bisa jadi hanyalah bayang-bayang dari kemerdekaan yang sebenarnya yang akhirnya menjadi sesuatu yang utopia.

            Menurut hemat penulis, kemerdekaan dalam konteks sejarah kemerdekaan dari kolonialisme selayaknya ditafirkan sebagai proses re-historisasi kultural bahwa proses pengisian kemerdekaan ini sebaiknya adalah proses pengembalian Indonesia ke dalam sejarah kebudayaannya yang asli dan menjadikan nilai-nilai kebudayaan khas Indonesia sebagai penopang utama dari segala gerak arah perubahan, perkembangan dan pembangunan sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan hukum.

Sehingga kemerdekaan yang kita peringati setiap tahunnya, bukanlah sebuah seremoni budaya nasional yang hambar karena tidak mengakarnya nilai kultur yang khas Indonesia. Perayaan kemerdekaan yang hanya mensimbolisasikan kemenangan-kemenangan politis dan kebebasan-kebebasan ideologis, pada akhirnya hanya menjadi nostalgia hiburan kebudayaan yang kekanak-kanakan.

13 Agustus 2001

#Sumber Esai: Syafruddin Muhtamar, Mengubur Air Mata, Tanda Pustaka, 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun