BOLEH jadi mahluk yang bernama provokator itu kini berada di dekat anda dan siap melumat anda dalam perangkap provokasinya. Tiba-tiba sejurus kemudian anda telah membunuh, merampok dan menjarah. Dan beberapa jurus berikutnya anda pun ditangkap oleh polisi atau tentara lalu menuduh anda sebagai provokator. Provokator yang mengompori anda hilang seketika entah kemana. Lari tanpa jejak sambil menertawai anda dan dibalik persembunyiannya dia berpesta kemenangan bahwa misinya kembali membuahkan hasil. Anda diinterogasi, disiksa dan mungkin dipenjara. Selebihnya barangkali hanya penyesalan dan tangis tak berarti.
      Kita sepakat saja dalam konteks tersebut bahwa provokator itu sejenis mahluk yang licik dan kejam. Selain itu provokator masih memiliki segudang karakter dengan sifat sama, terkadang sulit terklasifikasi, teridentifikasi dan terdeteksi gerakan 'penyerbuan' dan pola 'pelariannya'. Sampai-sampai pihak berwajib, mengungkap sindikat provokator ini mati kutu. Padahal semua tahu mereka dengan manajemen pengamanan dan kecanggihan peralatan atau profesional bagian intelnya bisa dengan mudah menjaring para provokator asli yang tidak lagi diragukan keasliannya kemudian membiarkan mereka menunggu kesadaran kemanusiaannya dibalik jeruji besi.
      Tetapi nyatanya provokator masih berlenggak-lenggok kesana-kemari di seluruh penjuru nusantara mencari sasaran empuk untuk diobrak-abrik. Provokator masih gentayangan seperti hantu mencari mangsa.
      Di zaman pemerintahan Soeharto yang sekarang ini menikmati sisa-sisa hidupnya dengan hujatan dan makian dari segelintir orang yang mungkin merasakan 'kezaliman-kuasanya', jarang atau bahkan tidak pernah mahluk-mahluk provokator itu disebut, diberitakan atau digunjingkan seramai dan semarak sekarang ini. Sepertinya orde reformasi menjadi rahim lahirnya sosok-sosok bergelar provokator. Sosok yang selalu menjadi momok disetiap kerusuhan. Menjadi terminal bermacam-macam tuduhan.
      Apakah mahluk-mahluk itu 'sengaja' dirawat atau memang merawat diri dibalik selimut tebal pembangunan masa orde baru untuk kemudian dilepas atau melepaskan diri menyambut kedatangan masa yang penuh 'perubahan' dan kebebasan ini.
      Provokator sampai hari ini masih sulit ditembus dengan pisau analisa apapun. Kehadirannya seperti 'keberadaan tanpa kehadiran' atau 'kehadirannya tanpa keberadaan'. Dia alien tanpa tempat asal. Dia sosok yang tidak punya kampung halaman. Mahluk tanpa identitas. Hanya tiba-tiba muncul dan disimpulkan sebagai pengacau, perusuh, perusak tatanan dan kerjanya membuat onar, gaduh dan membuat orang kocar-kacir perasaan hati dan pikirannya. Hingga hari ini kita tahu dia hanya kambing hitam.
      Barangkali tidak ada salahnya membuat sebuah 'determinasi' tentang mahluk aneh ini dirajut dengan seribu  macam analisa-analisa yang kita dengar, kita baca atau yang kita saksikan langsung di lapangan kerusuhan. Bahwa mahluk ini adalah embrio potensialitas yang termandulkan, terbengkalai, terbonsai yang kemudian sering kita temukan di daerah-daerah kumuh ekonomi, di wilayah pinggir pendidikan atau zona-zona tanpa harapan. Lalu menjadi janin dalam kandungan sosio-kultural, dalam kasur empuk jeritan pembangunan. Janin yang membawa watak enak untuk disetir dan dieksploitasi demi berbagai kepentingan, baik di luar maupun di dalam dirinya sendiri. Lalu menjadi bayi yang lahir dengan gigi taring sangat tajam, gigi taring yang tumbuh karena ketertindasan, marjinalisasi, ketertinggalan atau kemiskinan, diabaikan oleh perkembangan. Masa bayi dilewatinya bukan dengan makanan bergizi tetapi masa pertumbuhan awal itu dia berkenalan dengan kemarahan, kebencian dan ketidakpercayaannya, berhadapan dengan dunia luar yang tidak memberinya harapan untuk sekedar tersenyum dan bercanda apalagi menari-nari di halaman kebahagiaan. Pada fase kehidupan remaja dan kedewasaannya mahluk itu telah sempurna untuk aktualisasi penyakit-penyakit sosial yang terakumulasi sepanjang hidupnya. Dan di era serba bebas ini dia mengambil bagian untuk mendapatkan hak kebebasan dan kemerdekaannya kembali yang selama ini dirampas oleh rezim.
      Disinilah permainan politik tingkat tinggi 'dimulai' dan menjadikan mereka sebagai 'kendaraan' politik dengan berbagai macam tujuan yang tidak jelas dan karena ketidakjelasannya semuanya menjadi chaos. Karena chaos orang lalu menuduhnya 'gerakan' itu untuk menggagalkan pemilu, mempertahankan status quo atau sengaja 'iseng-iseng' memporak-porandakan bumi pertiwi dengan sistem politik bumi hangus, politik pembunuhan dan pembantaian.
      Dari konteks ini kembali kita bisa membuat 'determinan' baru tentang mahluk bernama provokator itu. Bahwa ternyata provokator itu bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian; provokator lapangan yakni provokator yang terjun langsung secara fisik menciptakan kerusuhan dan provokator yang duduk di belakang meja di dalam kantor. Kita sepakati saja dia ini provokator intelektual. Kerjanya hanya menggerakkan provokator coro di lapangan. Provokator berdasi ini lahir dan dibesarkan dalam kandungan politik -- kekuasaan yang setiap hari disuapi nafsu untuk berkuasa dan untuk menguasai segala cara menjadi mungkin dan halal. Provokator yang dalam kepalanya telah tertanam idealisme bahwa politik adalah cara untuk membangun dinasti raja yang angkuh dan congkak dengan seribu ketidakperdulian kemanusiaan; kekuasaan adalah satu-satunya syarat untuk berbahagia dan merasakan nikmatnya kehidupan.
      Inilah provokator asli yang memprovokasi orang-orang yang tidak tahu apa-apa, yang tidak mengerti cara berbahagia lewat sebuah kekuasaan, yang tidak paham wacana tentang politik apalagi tidak mengerti bahwa dirinya dijadikan alat provokasi.
      Provokator asli inilah yang sekarang gentayangan kemana-mana. Di setiap wilayah sangat gampang merubah identitas hingga tidak terlacak, sangat dengan mudah merubah wujud dengan bermacam-macam topeng politis sehingga tidak terdeteksi, berjalan dan mengendap sambil mengendus-endus mangsanya tanpa meninggalkan jejak. Dan tanpa kesulitan bisa saja tiba-tiba memasuki istana dan seketika hadir di depan presiden sambil menodongkan pistol di kepalanya dan memaksa presiden untuk meletakkan jabatannya dan secepat kilat dia menggantikannya.
      Dan boleh jadi nanti kita tidak diperintah oleh presiden yang reformatif tetapi 'presiden' yang provokatif dan jadilah negeri ini negeri provokator.
      Ada provokator yang lebih misterius dan lebih gentayangan dibanding misteriusnya dan gentayangannya provokator yang sekarang masih belum ketahuan rimba dan batang hidungnya. Provokator yang begitu sangat kejam dan bengis membantai dan mencabik-cabik tubuh kemanusiaan kita sendiri.
      Bisa seketika mencemplungkan kita dalam kebinasaan paling biadab dari kebinasaan-kebinasaan yang sering kita saksikan disetiap tontonan kerusuhan. Bisa begitu dengan romantisnya menjatuhkan kita ke lembah nista paling dalam dan tidak ada lagi 'harapan' untuk kembali ke puncak.
      Ini provokator yang sering berbisik merdu di telinga tanpa kita sadari, hasil bisikan itu mengajak kita meninggalkan wujud murni kedirian kita, wujud fitrah kemanusiaan kita, yang sering mengajak untuk menjauhi kesadaran kita tentang kebenaran Ilahiyah. Dan lalu meninggalkan dan menertawai kita dari tempat 'persembunyiannya' yang begitu dekat. Bahkan tidak segan-segan mengajak kita bersama-sama berpesta merayakan kemenangannya.
      Dialah provokator yang lembut dan halus budi bernama setan atau iblis. Terkadang menjelma dalam nafsu rendah duniawi dan ego kebinatangan kita. Dialah provokator yang gentayangan diantara kepala dan batin kita, tanpa kita kenal wujud aslinya. Yang memancing dengan kenikmatan dan kesenangan sesaat dan semu.
      Lucunya kita memang mahluk yang senang digoda dan diprovokasi. Terbukti kita senang 'merawatnya' dibalik kemewahan materi dan kemegahan 'intelek' dalam keseharian kehidupan ini. Sampai-sampai di dalam kamar mandi pun kita gampang diprovokasinya.
30 April 1999
#Sumber Esai: Syafruddin Muhtamar, Mengubur Air Mata, Tanda Pustaka, 2018.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI