* Tulisan ini adalah pengantar penulis dalam Buku:Mengubur Air Mata, Kesaksian-kesaksian Budaya Dua Dekade Berlalu, Tanda Pustaka, 2018.
NGERI membayangkan sebuah negeri tanpa kendali apalagi pengendali. Bisa kita bayangkan pada fase sejarah bangsa ini, ketika rezim orde baru ambruk menemui ajalnya dan Soeharto harus meninggalkan kursi kekuasaannya setelah dipaksa oleh anak-anak bangsanya sendiri. Kehidupan sosial, ekonomi dan politik menjadi semacam lukisan abstrak yang tidak jelas maknanya, sejarah bergerak seperti kuda liar tanpa penunggang. Kekacauan menjadi warna yang dominan pada hampir semua elemen-elemen kehidupan. Perasaan masyarakat menjadi gamang dan masa depan bangsa terlihat suram.
Negara berjalan dalam kegelapan, hampir semua sistem menjadi lumpuh yang memang sejak awal bangunannya berdiri diatas mentalitas dan moralitas yang rapuh. Pada medan politik kekuasaan menjadi rebutan tangan-tangan yang penuh ambisi. Dalam lapangan ekonomi; kekayaan pribadi dan golongan menjadi skala prioritas. Pada etalase kebudayaan; masyarakat kehilangan jati diri kulturalnya. Dipanggung hukum; keadilan menjadi konsumsi murahan dan pada dataran sosial; konflik, kerusuhan, perseteruan, kekejaman dan kekerasan menjadi fakta yang lalu-lalang di depan mata.
Masa transisi adalah masa yang sulit. Seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi tidak menentu. Masyarakat bangsa dengan segenap kemampuan nalar, sumberdaya dan niat serta semangat akan harapan-harapan tentang Indonesia baru, berusaha untuk mereformasi, menformulasi atau bahkan merevolusi sistem bangunan kenegaraan dan kebangsaan dalam visi dan misi yang sesuai dengan tuntutan perubahan, dengan menanamkan kembali nilai-nilai moral demokrasi, semangat budaya dan keagamaan, kebersamaan dan persatuan, keadilan dan kebebasan, transparansi dan profesionalisme, dalam kerja-kerja pemberdayaan potensi yang selama ini hanya dijadikan sekedar sebagai topeng untuk melakukan kemunafikan politik, ekonomi, hukum dan kebudayaan hingga ke titik yang betul-betul memalukan.
Secara rasional, spiritual dan ideologis masyarakat bangsa saat ini tengah memprosesi diri dalam lingkaran sejarah yang bergerak pelan menuju pada kepastian masa depannya. Sebuah Indonesia yang sungguh-sungguh berbeda; dalam pemaknaannya yang ideal dan sejati. Masyarakat bangsa tengah mengubur air mata kegelapan masa lalu negerinya yang berlumur dosa-dosa sejarah oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab pada eksistensi kebangsaan, yang tersimpan didalamnya idealita kemanusiaan. Meskipun disana-sini bias idealisme dalam mencari Indonesia baru terkadang masih nampak sebagai gejala yang mengganggu dan cenderung mengesankan reformasi mati ditengah jalan, sebuah gejala yang umum dijumpai pada transisi sosial dan politik.
Buku ini, merupakan kumpulan tulisan yang merekam gejala-gejala sosial-politik dan kebudayaan yang menjelma dalam rentetan-rentetan peristiwa sejarah pasca tumbangnya otoritarianisme Orde Baru dengan gaya penulisan catatan harian khususnya pada kesaksian pertama karena dibuat untuk memenuhi kepuasan rasa intelektual penulisnya sendiri. Pada kesaksian kedua memuat tema-tema yang menggejala dalam masa transisi dengan menawarkan terma budaya sebagai wacana solutif dengan gaya penulisan sedikit berbau artikel sebab dibuat untuk kepuasan redaksi Koran yang telah memuatnya.
Meskipun buku ini bersifat bunga rampai, tetapi tidak mengurangi maksudnya untuk ikut terlibat dalam proses besar transisi sosial kultural dalam berbagai wacana yang tengah berlangsung di tanah air: dengan menawarkan 'makna', Â walaupun itu sederhana.
Masa awal reformasi mungkin hampir dua dasawarsa telah berlalu, namun masa galau diawal transisi itu, selalu menjadi tumpuan ingatan yang tak bisa terabaikan.
SM
28 Mei 2003, dibaharui Februari 2017
# Bisa di peroleh di https://drive.google.com/file/d/1ZpwQkLio_G7WraS4dOyBpWAlx3KvVoLZ/view?usp=sharingÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H