Dalam faktanya, bertahun-tahun organisasi ini menangani 'masalah ekonomi manusia'. Justeru dunia, terus-menerus diterpa bencana ekonomi 'tak terselesaikan'. Bahkan negara, organisasi pemimpin dan organisasi gabungan negara-negara, membangun usaha penyelesaian masalah dunia dan nasional. Tetapi kehidupan mansuia, tetap saja dalam posisi 'ujung tanduk'. Rapuh, rawan dan rentan dalam selimut masalah yang bermata rantai tanpa ujung.
Kesalahan 'terbesarnya', para pemimpin dunia memandang masalah manusia dari sudut sempit 'material'. Dan mengasumsikan penyelesaian melalui uang dan pembangunan eknomi. Maka, tidak ada jalan keluar sejati yang dapat mereka ditemukan. Kecuali jalan penyelesaian semu.
Kapasitas kepemimpinan mereka sebagai pengendali 'kebijakan global', jika digunakan dalam rangka menyelamatkan manusia, sepatutnya dengan rendah hati mempetimbangkan ulang sisi kehidupan rohoni mahluk manusia. Kapasitas mereka akan mengerdil dengan hanya backup sains duniawi melulu, tanpa dukungan sains ukhrawi.
Para pemimpin ini, harus mengambil 'peran' eskatologis. Mereka sedang memimpin mahluk, yang bukan semata-mata biologis, tetapi juga rohani. Mereka bertanggunjawab atas manusia, yang tidak hanya pada hidup materialnya tetapi juga hidup rohaninya. Manusia tidak hanya berpengharapan pada surga duniawi tetapi juga surga uhkrawi.
Jika pemimpin dunia tidak mempertimbangan esensi kehidupan rohani, memahami urgennya membangun kesejahteraan rohani. Maka komunike KTT apapaun, termasuk komunike KTT G20 ini, sejak dari pelaksanaan pertamanya di Washington, hingga terakhir di Pulau Dewata Bali, dan seterusnya, hanyalah bentangan sejarah mengenai optimisme semu.
#Sumber Tulisan: Harian Fajar, edisi 26 November 2022, Rubrik Opini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H