WAJAHMU BULAN DI BULAN LEBARAN
Wajahmu masih berbau bulan. Sejuta purnama lalu, ketika hinggap di dahan dengan riwayat yang lahir dari rahim angin masa. Menjadi rahasia waktu yang berkejaran. Yang rindu itu dulu kita bahasakan lewat mata; kita isyaratkan pada gerak, namun ranggas di musnah sifat kanak-kanak. Rinduku menjelma badai  kembali hari ini: mengamuk dalam lautan sukma, karena matamu masih merahasiakan isyarat, yang dulu sampai waktu salju itu memeluk diri, kedinginan dalam beku hasratmu yang lama. Dan diammu telah merubahku jadi kelopak matahari, yang mengintip bulan di wajahmu yang telah tertutup awan sebagian.
MENGENANG YANG AKHIR
Menyulam perjalanan waktu kusam. Raga hanyut di awan di muara tak pasti. Kematian silih berganti merajut segala duka pada ujung mata. O, sunyi, kenapa masih mendekam dan memendam seribu makam? Tanah tak akan habis melewati  tenggorokan kematian. Kemana titik akhir perjalanan nafas. O, senyap ini, kenapa terasa semakin genap, setelah bunga-bunga aku  tabur pada nisan, dengan sejuta huruf yang diam. Dan harum itu pudar di telan waktu berlalu. Dan masih saja kita membanting kata-kata nasib di meja kesombongan, sementara di luar ada suara rintih daun-daun; ada desah lirih alang-alang. Tetapi masih saja kita sibuk menata kartu merah pada jemari kebodohan.
DETAK JAM
Detak jam itu melantunkan cinta dan siaranya pada zaman, tak kunjung usai. Suara cinta tak kunjung henti, pada detak zaman yang bernyanyi.
#Sumber puisi: Syafruddin (shaff) Muhtamar, Sujud, Kumpulan puisi, Penerbit Pustaka Refleksi, 2007.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H