Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Yang Sakral yang Profan

4 Juni 2022   06:31 Diperbarui: 4 Juni 2022   06:44 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

YANG SAKRAL YANG PROFAN

"Saya tidak menyukai kembang suci yang ada di tanganmu". Berkata yang profan kepada yang sakral. "Tapi jiwamu tidak menyukai kekosongan". Yang sakral menjawab. "Karenanya taman-tamanku aku penuhi dengan bunga-bunga pikiran, agar aku tetap berbahagia bersama malam sepanjang hayat". Yang profan menimpali.

Tak terhitung musim berlalu yang sakral telah meninggalkan yang profan sendirian. Menyulam setiap detak waktu bertumpuk-tumpuk menurut kemerdekaan sendiri menjadi nafas bagi jiwa yang bagai bulan terjerat malam, ketika ia berlari meninggalkan purnama. Tak dinyana yang profan mendatangi yang sakral saat asyik bermain di taman langit keabadian.

"Aku tidak tahan berteman malam senantiasa, sepi telah merenggut harapan-harapanku, aku rindu matahari di siang hari, pun bintang-bintang menculik purnama jika ingin datang berkunjung. Pikiranku menjadi gelap dan remang-remang sebab rembulan hanya mengintip di sela-sela ranting. Aku merasakan neraka pikiranku yang sombong waktu menolak pemberian kembang sucimu dalam rahim semesta, kini jiwaku kosong". Seperti pengakuan dosa manusia di altar suci, begitulah yang profan mengeluh pada yang sakral.

Tanpa basa-basi, yang sakral yang serba melingkupi ini,  menggenggam jemari yang profan menuntunnya berjalan di air tenang sungai-sungai pengabdian yang tulus. Menelusuri jalan-jalan damai keikhlasan cinta hingga tiba mereka pada samudera pengenalan diri. 

Di bawah tatapan sepasang pengantin yang duduk di pelaminan semesta, yang sakral dengan tangan sucinya mengambil air di puncak gelombang dan mengajari yang profan cara bersuci. Dan jiwa yang telah dituntun maka segalanya menjadi mudah. Yang profan selesai bersuci, ia menyaksikan rembulan dan matahari bersanding, melemparkan senyum mereka dan hinggap di jiwa yang profan sebagai kembang suci.

Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun