TRAGEDI PARA PEMABUK
Seribu lautan makna ditumpahkan tangan-tangan langit lewat gerbang hatimu, menuju kesegenap alir darahmu yang berlari ketakutan, sebab mengetahui dirinya tertindas di bawah sepatu-sepatu besi kelemahan.
Sejuta cawan cahaya memandikan jiwa-jiwa surga lewat kelopak matamu yang senantiasa redup seperti pelita kehabisan minyak. Menyadari setiap jengkal nafas kenistaan diri yang merangkak dibawah Keagungan Mulia.
Tetapi kenapa masih di pembaringan itu! Kisah pendahulumu telah usai. Tiada guna angan melambung ujung khayal, sebab itu adalah pasungan bagi hati yang ingin bergerak.
Tetapi mengapa masih sempoyongan di sepanjang jalan! Mabuk karena anggur nostalgia nenek moyang, yang nikmatnya tidak akan pernah sampai ke langit. Tiada guna semerbak wangi nafas beraroma dunia sebab baunya tetap tercium seperti lempung.
Menanti lautan makna dan cawan-cawan cahaya..., apalagi yang kau tunggu! Tanam segera bibit-bibitnya sepanjang lereng jiwamu dan pada subur-subur tanah tempatmu berpijak. Esok nostalgia khayalanmu akan datang berselimut Kenyataan, yang dahulu kau tolak dalam kealpaan.
SEPERTI BUIH DI LAUTAN
Untuk Ummat al-Mustafah
Menggenggam tanganmu yang dingin beku, karena ketakutan telah mengikatnya bersama kelemahan. Hidupmu adalah keramaian yang sunyi, hidupmu adalah sepi yang hiruk pikuk. Kekuatannmu mendengung lirih dalam sunyi dan mendentum hampa dalam hiruk pikuk.
Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H