MESJID, LORONG SEJARAH
Â
Tak terhitung purnama lewat, aku terpesona anggun masjid. Tempat kepala datang bersujud, menghamba, dan berdoa. Aku berdiri di luar pagar kembang asoka, sebagai  kafir terpanah hidup manusia tertambat hasratya pada yang Abadi.
Mesjid itu dibuat tangan suci para nabi, disanggah tiang empat kitab suci, tiang sempurna berdiri kokoh tepat di tengah. Mesjid yang tiada sunyi cahaya. Siang matahari menerangi, malam obor dan rembulan menyirami.
Tak terjumlah purnama habis bersama keterpesonaanku menyaksikan lorong sejarah; Â ditopang pilar agung, tersusun batu keringat manusia Ilahi, terhampar megah dalam lembar emas buku zaman.
Sejarah manusia sejati, seluruh hidupnya adalah sujud, penghambaan dan doa. Kekafiranku menjadi  sempurna menyaksikan kebenaran ini.
Sudah tak terbilang purnama aku menyaksikan mesjid itu, ternyata adalah lorong sejarah. Kali ini aku tidak lagi terpesona, sebab kini lengang pejalan Ilahi. Hanya satu dua datang merapat dahi di lantai suci. Suara azan terdengar seperti genta tua dan berbunyi lirih, menahan derita lorong sunyi di kejauhan.
Pada purnama terakhir, kuakhiri kekafiranku. Kusucikan diri dengan wudhu dari air sumur kitab suci dan debu penghambaan yang menempel. Aku bersujud, menghamba, berdoa, seperti  ribuan kepala selama tak terbilang purnama berlalu.Â
Tetapi mengapa meninggalkan rumah abadi, tidakkah  mereka mencium semerbak wangi al-Mustafa di lorong sejarah agung ini?
Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008. Â Puisi ini telah mengalami pengeditan ulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H